Rokhmin Dahuri
Dukungan Inovasi Teknologi Kelautan dan Perikanan Masih Kurang
Produk riset dan inovasi kelautan dan perikanan kita masih banyak dalam karya ilmiah dan jurnal nasional atau internasional. Ini sudah baik, tapi diharapkan riset dan karya ilmiah ini diwujudkan dalam teknologi dan inovasi yang bisa diterapkan dan digunakan oleh kita sendiri bahkan diekspor.
TOKOHKITA. Saat ini, Indonesia menjadi produsen produk perikanan kelautan terbesar kedua di dunia, hanya kalah dari China. Bahkan, potensi kemaritiman, perikanan atau akuakultur bisa dibilang Indonesia sebagai rajanya. Meski begitu, Indonesia menjadi bangsa yang paradoks karena potensi kelautan dan perikanan yang besar tersebut belum memberikan kesejahteraan khususnya bagi para nelayan. Mereka hidupnya masih memprihatinkan.
Demikian diutarakan Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia, Rokhmin Dahuri saat menjadi narasumber seminar ilmiah Gelaran Riset Inovasi Nasional (GRIN) 2021 yang digelar oleh BRIN secara daring, Rabu (1/12/2021). Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah masih lemahnya dukungan riset dan inovasi dalam pengembangan dan pemanfaatan potensi ekonomi mari maritim.
"Produk riset dan inovasi kelautan dan perikanan kita masih banyak dalam karya ilmiah dan jurnal nasional atau internasional. Ini sudah baik, tapi diharapkan riset dan karya ilmiah ini diwujudkan dalam teknologi dan inovasi yang bisa diterapkan dan digunakan oleh kita sendiri bahkan diekspor," terang uru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University ini.
Rokhmin bilang, pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus ditopang oleh ekosistem riset dan inovasi yang produktif. Cuma, selama periode 2014-2018, jumlah peneliti menurun rata-rata -1,02% per tahun. Hingga 2018, jumlah peneliti ada 516 orang, terbanyak di unit kerja Pusat Riset Kelautan. “Pada 2018, jumlah peneliti ada 516 orang, terbanyak dibidang akuakultur. Selain itu, jumlah profesor riset sebanyak 18 orang, perekayasa tujuh orang, dan teknisi Litkayasa 135 orang,” sebut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara ini.
Lebih rinci Rokhmin membedah problem tersebut pertama, kebanyakan aktivitas R&D atau Litbang hanya untuk menghasilkan tulisan ilmiah dan prototipe teknologi atau invensi. “Sedikit sekali atau hanya sekitar 3%-4% yang menghasilkan produk inovasi komersial yang dibutuhkan manusia dan pembangunan. Dalam hal ini hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau pembangunan bangsa,” ujarnya.
Kedua, rendahnya kreativitas, daya inovasi, dan entrepreneurship kebanyakan peneliti kelautan dan perikanan. Ketiga, mayoritas pengusaha (industri) mengharapkan ‘quick-wins’ (hasil instan). “Sedangkan, sebagian besar hasil penelitian berupa prototipe (invention) baru bisa di scalling-up menjadi inovasi teknologi komersial pada umumnya memerlukan waktu yang lebih lama,” jelasnya.
Ketiga, minimnya dana, prasarana, dan sarana R&D. Keempat, peran pemerintah sebagai ‘penjodoh’ (match maker) antara peneliti yang telah menghasilkan prototipe (invensi) dengan industriawan (pengusaha) untuk mentransformasi invensi menjadi inovasi masih jauh dari optimal.
Kelima, rendahnya penghargaan ekonomi maupun sosial dari pemerintah dan masyarakat kepada peneliti. “Kurangnya insentif dan penghargaan dari pemerintah kepada industriawan yang mau mengindustrikan dan mengkomersialkan invensi para peneliti menjadi inovasi yang dibutuhakan konsumen domestik maupun global,” katanya.
Rokhmin juga menyoroti minimnya kerjasama sinergis antara peneliti–swasta/industri – pemerintah (ABG = Academician –Business – Government), termasuk kegagalan sistem pendidikan. “Mayoritas lulusan hanya bisa menghafal, tetapi lemah dalam hal analytical capability and problem solving, kreativitas, inovasi, teamwork, dan etos kerja unggul yang berakhlak mulia,” tandasnya.
Ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan itu mengungkapkan untuk membangun ekosistem inovasi kelautan dan perikanan yang kondusif dibutuhkan beberapa langkah kebijakan dan strategi diantaranya adalah setiap aktivitas litbang harus ditujukan pertama, memecahkan permasalahan bangsa dan dunia saat ini maupun di masa depan. Kedua, pendayagunaan potensi pembangunan (SDA, SDM, dan posisi geoekonomi) bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa.
Ketiga, sesuai dengan kebutuhan pasar dan dinamika pembangunan (market and development-oriented research). “Output litbang semacam ini pasti layak publikasi di Jurnal Ilmiah nasional maupun internasional,” ungkapnya. angkah berikutnya adalah para peneliti harus meningkatkan kapasitasnya agar mampu menghasilkan hasil riset yang inovatif dan sesuai kebutuhan pasar di dalam maupun luar negeri, invensi yang mencapai technological readiness. "Para peneliti harus melibatkan pihak industri dan pemerintah sejak tahap perencanaan, implementasi, industrialisasi sampai pemasaran hasil R & D,” bebernya.
Sementara itu, pemerintah harus menyediakan infrastruktur, sarana, dan anggaran (> 3% PDB) penelitian yang mencukupi; serta memberikan kesejahteraan dan penghargaan kepada para peneliti seperti halnya (benchmarking) di negara-negara maju atau emerging economies lainnya yang lebih maju dan makmur. “Pemerintah dan masyarakat menjamin kesejahteraan serta lebih menghargai peneliti, ilmuwan, dosen, dan guru sebagaimana di emerging economies yang lebih maju atau di negara industri maju dan kaya,” tandasnya.
Sementara untuk pihak industri baik swasta nasional dan BUMN harus meningkatkan jiwa nasionalismenya, sehingga dalam menggunakan teknologi tidak semata berdasarkan pada pertimbangan financial cost and benefit mau mengembangkan teknologi nasional dari hasil riset tahap prototipe (Invensi) bangsa sendiri. “Pemerintah memberikan insentif seperti tax deduction dan bebas biaya impor untuk state of the art technology dan penghargaan bagi industri yang mau mengindustrikan invesi peneliti nasional,” saran Rokhmin.
Kemudian, multi national corporation diwajibkan melakukan transfer teknologi dan mengindustrikan invensi peneliti nasional dengan melibatkan peneliti, dosen, dan mahasiswa di perusahaannya, seperti di Singapura, Korea, dan China. “Transfer teknologi dari negara-negara maju atau multi national corporations, seperti melalui reverse engineering,” tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, Rokhmin juga mendorong berjalannya fungsi utama BRIN yakni menyusun roadmap riset dan inovasi nasional sebagai panduan untuk lembaga libbang kementerian dan lembaga, perguruan tinggi, BUMN, dan swasta, match-making antara peneliti dengan industri untuk peningkatan transformasi invensi menjadi inovasi, advokasi dan promosi, serta koordinasi dan pendampingan.
“Para elit pemimpin bangsa [presiden, menteri, DPR, gubernur, bupati/walikota, ketum partai, dan CEO] harus lebih komitmen, mencintai, dan mendukung R&D dan IPTEKS dalam rangka science-based planning and decision making processes,” pinta Rokhmin.
Editor: Tokohkita