Suryanto Lee
Lima Langka Persiapan Kerja Hibrida di Tahun Baru
- Beranda /
- Kabar /
- Gaya Hidup /
- Kamis, 16 Desember 2021 - 05:26 WIB
Sebuah survei yang dilakukan terhadap para profesional, manajer, dan karyawan di Singapura oleh Lark, aplikasi kolaborasi generasi masa depan yang berkantor pusat di Singapura, mengungkap bahwa 94% responden menginginkan untuk terus bekerja secara fleksibel.
TOKOHKITA. Dampak pandemi Covid-19 terhadap bisnis di seluruh dunia tidak dapat dianggap remeh. Hanya dalam beberapa bulan, tempat dan budaya kerja di seluruh dunia telah berubah drastis.
Seketika, konsep seperti "kerja jarak jauh", "tim yang fleksibel", "kantor hibrida" telah menjadi bagian dari kosakata bisnis yang digunakan untuk menggambarkan para profesional dari Jakarta, Seminyak, Bandung atau Yogyakarta yang menikmati kebebasan bekerja dari rumah saat pemberlakuan kebijakan protokol kesehatan.
Sebuah survei yang dilakukan terhadap para profesional, manajer, dan karyawan di Singapura oleh Lark, aplikasi kolaborasi generasi masa depan yang berkantor pusat di Singapura, mengungkap bahwa 94% responden menginginkan untuk terus bekerja secara fleksibel dan keinginan ini datang dari Singapura, sebuah negara yang kondisi lalu lintasnya tidak serumit kemacetan di Jabodetabek, namun para pekerja profesional tetap mengalami kesulitan untuk menerapkan 'work-life balance'.
Survei Global Talent Trend 2021 yang dilakukan oleh JobStreet, BCG, dan The Network pada November-Desember 2020 terhadap lebih dari 33.000 responden yang mayoritas berusia 20-40 tahun dan berpendidikan Sarjana (S1), menemukan bahwa karyawan di Indonesia sangat menyukai pengaturan kerja secara hybrid atau hibrida.
Ketika survei ini dilakukan, 54?ri total responden melaporkan bahwa mereka bekerja dari rumah (WFH) atau hibrida, sedangkan 46% dituntut bekerja sepenuhnya dari kantor (WFO). Namun, apabila mereka diizinkan untuk memilih, 91% responden memilih untuk bekerja dari rumah atau hibrida sementara sembilan persen lebih suka bekerja sepenuhnya dari kantor (WFO).
Salah satu pengadopsi awal teknologi digital di Indonesia, Wicaksono, yang lebih dikenal sebagai Ndoro Kakung mengatakan, sangat jelas jika teknologi memainkan peran penting dalam penerapan ekosistem kerja hibrida.
Para pimpinan C-suite harus berpikir lebih dari sekedar pertimbangan teknis seperti bandwith atau penyimpanan cloud. Bagian penting yang sering terlewati adalah bagaimana memanfaatkan teknologi digital tersebut agar perusahaan siap bertransformasi untuk memasuki era berikutnya.
Di sini pentingnya penggunaan aplikasi atau perangkat lunak kolaborasi dan komunikasi yang dapat menghubungkan semua orang dalam skala luas di dalam suatu perusahaan. Untuk menerapkan ekosistem kerja hibrida yang sukses, simak lima panduan dari Ndoro Kakung sebagai berikut:
Pertama, terapkan etika dan budaya kerja hibrida. Buat pedoman kerja berdasarkan etika, nilai-nilai, dan budaya yang dapat membantu karyawan berperilaku secara profesional dan penuh kewaspadaan. Jabarkan secara jelas manfaat sekaligus batasan dari sistem kerja secara mandiri, untuk mengurangi kehadiran secara fisik di kantor. Tetapkan tujuan, target, dan ekspektasi yang jelas, serta ciptakan suasana kolaboratif.
Kedua, bangun komunikasi yang terbuka dan terpadu. Libatkan karyawan dan bantu mereka memahami bahwa keberhasilan model kerja hibrida bergantung pada cara setiap orang berkomunikasi dan terhubung dalam suatu tim di perusahaan.
Pastikan karyawan memahami gambaran besar sekaligus tugas mereka secara mendetail, baik dalam keseharian maupun saat mengerjakan proyek yang ditugaskan kepada mereka. Komunikasi yang efektif sangat penting untuk memastikan semua orang berada pada frekuensi yang sama untuk mencapai tujuan yang sama.
Ketiga, berikan dukungan dan fasilitas kerja yang memadai. Rancang ulang ruang kantor menjadi suatu keharusan bagi lingkungan kerja hibrida. Perbanyak ruang rapat; ruang kerja terbuka, akses untuk bekerja di luar ruangan, dan fasilitas kesehatan yang memadai.
Strategi kerja hibrida juga harus mempertimbangkan lingkungan kerja WFH karyawan, agar mereka dapat bekerja secara produktif, aman secara fisik, dan sehat secara mental, sekaligus terlindungi, baik dari sisi bisnis maupun IT.
Keempat, terapkan program work-life balance yang layak. Walau kehadiran fisik dan interaksi langsung menjadi kurang intensif, karyawan perlu diberikan peluang untuk mengembangkan diri secara pribadi dan profesional dalam suatu organisasi. Perusahaan dan karyawan harus membahas pilihan program pelatihan, pengembangan karir, serta kesejahteraan fisik dan mental yang tersedia, berdasarkan evaluasi yang jelas dan terukur.
Kelima, adopsi dan transformasi ke teknologi digital untuk membangun hub dan konektivitas yang kuat. Teknologi merupakan aspek nomor satu dalam mode kerja hibrida. Teknologi yang terintegrasi dan mumpuni sangat penting untuk mendorong produktivitas karyawan dan perusahaan, meskipun tim tidak berada di satu tempat.
Perusahaan harus memastikan infrastruktur yang tersedia memadai untuk mendukung kebutuhan kerja karyawan, baik yang bekerja di kantor maupun dari jarak jauh. Salah satu elemen kunci dalam proses transformasi teknologi digital adalah pilihan dan penggunaan aplikasi kerja.
Mengacu pada pendekatan yang disampaikan Ndoro Kakung sebagai sosok pengadopsi awal teknologi digital, Suryanto Lee, Lark Senior Professional Service Consultant untuk Indonesia, mengatakan bahwa tantangan utama metode kerja hibrida terletak pada kemampuan perusahaan untuk menerapkan platform teknologi digital yang komprehensif.
"Perangkat ini harus bisa digunakan semua karyawan, bukan hanya para ahli IT di perusahaan saja. Setiap karyawan di dalam perusahaan harus beradaptasi dengan platform yang ada untuk mendapatkan manfaat secara penuh," katanya.
Pada kenyataannya, Suryanto menyebutkan, tuntutan ekosistem hibrida ini memaksa perusahaan untuk memikirkan kembali semua sistem dan pengaturan dasar yang ada. "Dalam prosesnya, persoalan ini bukan hanya menjadi masalah terkait IT tapi juga masuk dalam ranah SDM," ujar dia.
Menurut Digital Worker Experience Survey yang dilakukan oleh Gartner Inc., jumlah karyawan yang menggunakan perangkat kolaborasi meningkat menjadi hampir 80% pada tahun 2021, dari yang sebelumnya hanya digunakan oleh separuh karyawan pada tahun 2019.
Adapun peningkatan sebesar 44% ini tentu saja didorong oleh pandemi, yang memacu penerapan aplikasi kolaborasi seperti Lark dalam skala luas. Dengan fungsi dan fitur yang terpadu, Lark, aplikasi kolaborasi dan komunikasi all-in-one, mengintegrasikan tugas, proses kerja, dokumen, dan data dengan mulus untuk memberikan konektivitas dan keamanan tinggi kepada para pengguna.
Suryanto melanjutkan, Lark menawarkan kepada perusahaan kemampuan untuk beralih ke teknologi digital dengan lebih lancar, lebih mudah, dan dengan cara yang sangat hemat biaya. Melalui teknologi digital, Lark mengotomatisasi proses kerja dan mengurangi tugas yang biasanya harus dilakukan secara berulang-ulang.
“Pandemi ini menjadi tantangan besar bagi manajemen perusahaan karena perlu adanya penerapan paradigma dan metodologi baru untuk menciptakan tim yang efektif, kompak, dan produktif yang tidak hanya mampu melanjutkan bisnis seperti sediakala, tetapi juga mampu berkembang di masa depan, saat dunia memasuki era pasca-Covid,” tutup Suryanto.
Editor: Tokohkita