Rokhmin Dahuri
Alumni UNJ Harus Memahami Road Map Menuju Indonesia Emas 2045
Sebagai warga negara dan warga dunia yang baik, seorang alumni perguruan tinggi (PT) yang sukses juga diharapkan turut berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia Emas(maju, adil-makmur, dan berdaulat) paling lambat pada 2045,
TOKOHKITA. Setiap insan, tak terkecuali wisudawan dan wisudawati UNJ (Universitas Negeri Jakarta) yang diwisuda pada hari ini, mendambakan kehidupan yang sukses dan bahagia. Keberhasilan dan kebahagiaan itu tentu akan membuat bahagia dan rasa bangga bagi orang tua beserta keluarga besarnya.
Lebih dari itu, sebagai warga negara dan warga dunia yang baik, seorang alumni perguruan tinggi (PT) yang sukses juga diharapkan turut berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia Emas(maju, adil-makmur, dan berdaulat) paling lambat pada 2045, dan dunia yang lebih baik (for a better world) melalui buah pikirannya, prestasi terbaiknya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau karyawan di perusahaan dan lembaga lainnya, lapangan kerja yang dia ciptakan sebagai wirausahawan (entrepreneur), inovasi, atau amal saleh lainnya.
“Sebagai insan beriman, sukses dan kebahagiaan hidup itu bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak sebagai penghuni surga Sang Khalik,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat memberikan orasi merasi Ilmiah Pada Wisuda Universitas Negeri Jakarta Untuk Lulusan Program Diploma, Sarjana, Magister, dan Doktor Tahun Akademik 2021/2022 berjudul “Pembangunan Berbasis Pancasila, Teknologi Industri 4.0, Dan Ekonomi Hijau Menuju Indonesia Emas 2045” di Gedung Olahraga (GOR) Kampus B Universitas Negeri Jakarta, Selasa (29/3).
Rokhmin berharap orasi ilmiah ini dapat memberikan semacam perspektif, arah (direction), dan bekal bagi para wisudawan untuk hidup sukses serta bahagia, dan bagi UNJ yang sudah berkinerja baik supaya lebih cemerlang lagi, hingga menjadi a World-Class University (WCU) dalam waktu tidak terlalu lama. Menurutnya, untuk menjadi alumni UNJ yang berhasil dan UNJ menjadi a WCU, para wisudawan dan Civitas Aacademica UNJ mesti memahami kondisi kehidupan dan status pembangunan bangsa kita saat ini, dan Peta Jalan (Road Map) Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas pada 2045.
Selain kondisi dan status pembangunan sekarang (existing development status), Peta Jalan Pembangunan Bangsa juga mesti mempertimbangkan potensi dan permasalahan pembangunan bangsa, dan dinamika peradaban global. Pemahaman mengenai segenap informasi pembangunan bangsa dan dinamika peradaban gobal tersebut dapat dijadikan dasar bagi para alumni UNJ dan Civitas Academica UNJ untuk mengidentifikasi dan memetakan kebutuhan pembangunan, jenis pekerjaan (profesi), karakteristik SDM (Sumber Daya Manusia), sistem pendidikan, riset, inovasi, dan informasi yang dibutuhkan untuk masa kini dan masa depan.
Peran UNJ
Pada dasarnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, peran PT (Perguruan Tinggi) di dalam mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 adalah berupa: (1) lulusan yang unggul, (2) hasil penelitian (invensi dan inovasi) yang berguna bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan bangsa Indonesia serta umat manusia, dan (3) perbaikan dan pengembangan kapasitas, etos kerja, dan akhlak masyarakat dan aparat pemerintah (ASN).
Melalui kegiatan Tri Darma nya, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Di era dunia yang highly interconnected dan borderless, bercirikan VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous), Pemanasan Global dan kerusakan lingkungan yang kian masif dan meluas, dan ketimpangan sosial-ekonomi (kaya vs miskin) yang semakin melebar; PT dan segenap alumninya juga dituntut untuk berkontribusi signifikan untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, maju, sejahtera, adil, aman, damai, dan berkelanjutan.
Profil alumni PT yang unggul dan Insya Allah hidupnya sukses serta bahagia adalah mereka yang memiliki karakter (ciri): (1) kompeten pada bidang IPTEK (PRODI) yang ditempuh selama kuliahnya; (2) memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan problem solving; (3) menguasai dan terampil teknologi digital (menggunakan komputer, HP, dan gadget lainnya); (4) memiliki soft skills (seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, dan leadership);(5) menguasai sedikitnya satu Bahasa asing (seperti Inggris, Arab, atau Mandarin); (6) memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship); (7) berakhlak mulia (jujur, amanah, fathonah/visioner, tabligh, berempati, kanaah, sabar, dan bersyukur); dan (8) beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.
Hasil penelitian dari PT mestinya menghasilkan: (1) informasi ilmiah sebagai dasar bagi pihak pemerintah, swasta (industri) maupun masyarakat dalam menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan atau bisnis; (2) invensi (prototipe) yang siap untuk dihilirisasi (scalled up) menjadi inovasi teknologi maupun non-teknologi; (3) publikasi ilimiah di jurnal ternama (terbaik) pada bidang ilmunya, baik di tingkat nasional maupun internasional; dan (4) semakin meningkatkan Iman dan Taqwa (IMTAQ) para peneliti dan manusia menurut agama masing-masing.
Adapun Pengabdian pada Masyarakat yang dilakukan oleh PT harus diarahkan untuk membantu masyarakat dan pemerintah setempat supaya lebih memiliki kompetensi dan kapasitas pembangunan serta berusaha (berbisnis), beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing sesuai koridor Pancasila.
“Apabila Tri Darma dan peran mondial (global) yang saya uraikan diatas dapat dilaksanakan secara benar dan baik, maka UNJ menjadi a World-Class University dan para alumninya menjadi insan-insan yang sukses serta bahagia hidup di dunia dan akhirat adalah sebuah kebiscayaan, dalam waktu yang tidak lama (2035),” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.
Mengutip Salmi (2009), ada tiga prasyarat sebuah PT bisa menjadi a World-Class University. Pertama, adanya mahasiswa, dosen, peneliti, dan tenaga non-akademik yang berkualitas unggul. Selain itu, melaksanakan program pendidikan internasional dan kolaborasi penelitian dengan PT serta Lembaga Penelitian di dunia (internationalization). Kedua, tata kelola PT yang baik dan kondusif (favorable governance) yang meliputi: kurikulum, metoda pengajaran (Pendidikan) dan penelitian, autonomy academic freedom, culture of excellence, strategic vision, dan leadership team. Ketiga adalah dana (anggaran) yang mencukupi untuk membangun infrastruktur dan sarana, membiayai kegiatan TRI DARMA, dan mensejahterakan seluruh dosen, peneliti, dan tenaga non-akademik secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Ke depan, UNJ mesti membuka PRODI (Program Studi) dan Fakultas baru yang relevan dengan IPTEK dan expertise (keahlian) yang dibutuhkan untuk pembangunan bangsa dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas, paling lambat pada 2045, sebagaimana saya uraikan diatas. Program Studi atau Fakultas baru itu antara lain adalah: Nano-Bioteknologi; Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Digital/Informasi; Material Baru (New Materials); Kelautan dan Kemaritiman; Pangan dan Kesehatan; Energi Baru dan Terbarukan; dan Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan, terutama yang terkait dengan Perubahan Iklim dan Bencana Alam.Coastal and Ocean Engineering, Energi Kelautan, Teknik Perkapalan, Manajemen Pelabuhan dan Logistik Maritim, Pariwisata Bahari, dan Industry 4.0 Maritim.
“Sebagai PT yang berasal dari IKIP, UNJ bisa membuka PRODI dan Fakultas baru di bidang kemaritiman diatas melalui jalur Pendidikan untuk para mahasiswa calon guru maupun untuk para mahasiswa untuk profesi non-guru,” sebutnya.
Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin memeparkan, sejak Rasulullah Muhammad saw dan Umat Islam menguasai Kota Mekah (Fathu Makkah) pada 630 M (abad-7) sampai akhir abad-17 (Masa Keemasan Umat Islam, the Golden Age of Moslem), sekitar dua per tiga (2/3) wilayah dunia menjalankan semua aspek kehidupannya (ekonomi, IPTEK, sosial budaya, hukum, dan politik) berpedomankan pada Islam secara menyeluruh (kaffah) dan menurut cara-cara yang diteladankan oleh Rasulullah saw (‘itibba). Sepanjang era Keemasan Umat Islam tersebut, IPTEK berkembang sangat pesat, kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan hadir di tengah kehidupan masyarakat (WallaceMurphy, 2006).
Kemudian, sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam terakhir oleh Presiden Turki, Mustafa Kemal Ataturk pada 1924, dunia secara dominan diatur oleh sistem Kapitalisme dan Komunisme (Sosialisme). Lalu berbarengan dengan gerakan Glassnot dan Perestoika yang diinisiasi oleh Presiden Uni Soviet, Michael Gorbachev pada 1989, Komunisme tidak lagi dianut oleh bangsa-bangsa di dunia, alias mati. Maka, sejak 1989 masyarakat dunia praktis hampir seluruhnya menganut ideologi Kapitalisme dalam menjalankan kehidupannya.
Secara makroekonomi, Kapitalisme memang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi global rata-rata 3,5 persen per tahun. Sehingga, mampu meningkatkan PDB Dunia dari sekitar 0,45 trilyun dolar AS pada tahun 1753 menjadi 90 trilyun dolar AS pada 2015 (Sach, 2015). Kapitalisme pun sukses menciptakan ekosistem kondusif bagi inovasi IPTEK yang telah melahirkan empat gelombang Revolusi Industri. Sejak tahun 2000, dunia memasuki Revolusi Industri Keempat yang berbasis pada teknologi digital seperti Artificial Intelligence, Internet of Things, Big Data, Blockchain, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (METAVERSE), dan robotics, juga new materials, nanoteknologi, dan bioteknologi (Schwab, 2015). Pesatnya kemajuan IPTEK telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang, produktif, efisien, dan kompetitif. Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman.
“Namun, hingga kini baru sebagian kecil negara-bangsa di dunia yang sudah maju dan makmur (high-income country) dengan GNI (Gross National Income) per kapita diatas 12.695 dolar AS. Dari 194 negara-negara anggota PBB, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country) dengan GNI per kapita antara 1.046 – 12.695 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country) dengan GNI per kapita lebih kecil dari 1.046 dolar AS. Pada 2021, GNI per kapita Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS (World Bank, 2021),” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu .
Yang lebih menyedihkan, terang Prof. Rokhmin Dahuri, saat ini sekitar 1 milyar (14%) penduduk dunia masih fakir (miskin absolut) dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar 3 milyar warga dunia (41%) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari. Sekitar 1,3 milyar warga dunia hidup di kawasan pemukiman yang tidak teraliri jaringan listirk; 900 juta orang tidak mendapatkan air bersih; dan 2,6 milyar orang hidup di pemukiman dengan sanitasi buruk (UNDP, 2020).
Kapitalisme juga telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi semakin melebar. Pada tahun 1800, perbedaan total PDB antara negara-negara kaya (Eropa) dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90 persen. Pada tahun 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750 persen, sekitar 8 kali lipat. Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50 persen penduduk dunia yang termiskin. Dan, pada 2017 jumlah orang terkaya dengan total kekayaan sama dengan yang dimiliki oleh 50 persen penduduk dunia termiskin berkurang menjadi hanya 8 orang (Oxfam International, 2018).
Fakta lain yang menunjukkan betapa timpangnya kondisi sosial-ekonomi global adalah laju kosumsi energi antar bangsa di dunia. Dewasa ini, negaranegara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18 persen dari total penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 70 persen dari total konsumsi energy dunia, dan 87 persen dari energi yang mereka gunakan berupa energi fosil. Inilah ‘biang kerok’ dari terjadinya pemanasan global (IPCC, 2019). Rata-rata emisi karbon per kapita di negara-negara maju berkisar antara 18 – 101,66 kg/orang/hari. Sementara di negara-negara berkembang hanya sekitar 0,5 – 21,21 kg/orang/hari. Negara pembuang karbon per kapita terbesar di dunia adalah Singapura sebesar 101,66 kg/orang/hari, disusul AS 36,86, Rusia 27,22, Jepang 22,36 dan Jerman 19,91 kg/orang/hari. Tiongkok sebesar 19,33, India 4,56, dan Indonesia 5,42 kg/orang/hari (Statistical Review of World Energy, 2021).
Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati, Perubahan Iklim Global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lainnya. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Al Gore, 2017; von Weizsacker and Wijkman, 2018). “Bila peningkatan suhu bumi lebih besar dari 1,50 C dibandingkan dengan suhu bumi sebelum Revolusi Industri Pertama pada 1750-an, maka dengan kapasitas teknologi yang ada saat ini, dampak negatip tersebut bakal tidak dapat kita kendalikan,” tutur Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Maka, lanjutnya, supaya peningkatan suhu bumi tidak melebihi 1,50 C; maka paling lambat 2030 emisi karbon (CO2) ke atmosfer harus dipangkas sebesar 45 persen dari laju emisi tahun 2010. Selain itu, pada 2050 tidak ada lagi emisi karbon ke atmosfer (net-zero emission) sesuai dengan Kesepakatan Iklim Paris pada Desember 2015 (IPCC, 2015). Namun, faktanya suhu bumi bukannya menurun atau stabil, malah terus memanas. Suhu rata-rata bumi tahun 2021 mencapai 1,090 C diatas rata-rata di masa pra-industri, hanya tinggal 0,410 C dari batas aman 1,50C. Sementara itu, kenaikan permukaan air laut global sebesar 2,1 mm per tahun pada periode tahun 1993 – 2002, lalu meningkat menjadi 4,4 mm per tahun dari 2013 sampai 2021. Hal ini disebabkan karena melelehnya gunung es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, lapisan es di lautan, dan gletser akibat semakin meningkatnya rata-rata suhu bumi (WMO, 2021).
Di bidang sosial-budaya, Kapitalisme telah menimbulkan beragam kriminalitas dan penyakit sosial. Di seluruh dunia, khususnya di kawasan perkotaan, kehidupan warganya menderita depresi yang semakin dalam. Mabuk minuman keras, narkoba, perzinahan, HIV/AIDS, perampokan, frustasi, dan bunuh diri merebak dimana-mana. Perasaan saling curiga, distrust, hoax, hipokrit, dan permusuhan juga kian masif. Pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan ketidak-adilan telah mengakibatkan kecemburuan sosial, demonstrasi anarkis, radikalisme, dan bahkan terorisme.
Gelombang migrasi manusia dari negara-negara miskin atau dilanda perang, seperti Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin ke negara-negara industri maju (Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia) semakin tak terbendung. Sementara, menguatnya gerakan rasisme, populisme, dan proteksionisme di negara-negara maju, terutama semenjak era Brexit dan kepemimpinan Presiden Donald Trump, membuat semakin banyak negara maju yang menolak kedatangan para imigran yang bernasib malang tersebut.
Dunia Kapitalistik dimana kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang, juga telah membuat semakin terkonsentrasinya kekuatan politik pada sekelompok elit yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ketika ketimpangan ekonomi dan kosentrasi kekuasaan politik semakin tajam, maka rasa saling percaya di tengah kehidupan masyarakat memudar. “Sebaliknya, fragmentasi sosial dan kebencian akan memuncak yang berujung pada konflik bersenjata alias perang. Dalam dekade terakhir, krisis geopolitik pun semakin meruncing di berbagai belahan dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah, Amerika Latin, Semenanjung Korea, dan Laut Cina Selatan. Dan, Invasi Rusia ke Ukraina yang sampai sekarang belum kunjung damai,” kata Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) itu.
Lebih lanjut, Prof Rokhmin menjabarkan, kapitalisme secara kasat mata telah gagal menghantarkan umat manusia kepada tujuan kemanusiaan yang hakiki, yakni kehidupan dunia yang berkemajuan, sejahtera, adil, damai, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kegagalan itu disebabkan karena kapitalisme sejatinya memiliki kelemahan secara paradigmatik maupun pada cara kerjanya. Dalam kapitalisme, secara ontologis manusia diasumsikan memiliki karakter egoistis (selfish), sehingga moralitasnya adalah kebebasan hidup (liberalisme). Selain itu, kapitalisme juga menganggap bahwa kehidupan manusia itu hanya di dunia ini saja, tidak percaya adanya kehidupan akhirat. Maka, wajar bila moralitas para kapitalis sangat konsumtif, hedonis, dan bernafsu untuk mengeksploitasi orang lain (homo homini lupus) (Muzaffar, 2005).
Pada tataran praksis, orientasi kerja kapitalisme adalah bagaimana meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat mungkin, tanpa mengindahkan kepentingan bersama (orang lain), dan tak peduli halal atau haram. Di bidang ekonomi, penetapan harga, produksi, konsumsi, dan distribusi barang dan jasa (goods and services) semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar dengan ’invisible hand’ nya. Tidak boleh ada campur tangan pemerintah (negara).
“Hasil survei yang selama dua dekade terakhir dilakukan oleh the Edelman Trust Barometer (2020) di 28 negara maju dan berkembang dengan 34.000 responden menunjukkan bahwa mayoritas (60 persen) penduduk dunia menganggap bahwa Kapitalisme lebih banyak mudharat ketimbang maslahat nya,” terangnya.
Status Pembangunan Indonesia
Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen. Sayang, karena pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021). Ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia (World Bank, 2021).
Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 274 juta orang, maka per Maret 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita. Artinya, hingga saat ini (sudah 76 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI perkapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945.
Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia. Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam sudah dinobatkan sebagai negara makmur, dengan GNI per kapita 54.920 dolar AS dan 32.230 dolar AS. Tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014), pun sampai sekarang masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technologyinnovator country) atau kelas-1. Technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70% kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri. Sebaliknya, negara maju (technologyinnovator country) adalah negara yang lebih dari 70% kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor.
Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
“Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 472.525/orang/bulan, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27 juta orang atau 10,2% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021). Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 100 juta orang atau 37% jumlah penduduk (Bank Dunia, 2021),” ungkapnya.
Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), kata Prof. Rokhmin. Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfarm International, 2021). Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).
Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Akibatnya, P. Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya. Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahannya (Odum, 1976; Clark, 1989).
“Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana. Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah,” ujar Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) ini.
Dalam pada itu, sambungnya, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah, tidak dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB (UNCTAD, 2021). Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia. Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufacturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur). Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%.Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS.
“Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 24,4% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7?rgizi buruk, dan 10,2?rbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021),” sebutnya.
Ironisnya, menurut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020).
Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan. Sejak awal era Reformasi, setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula. Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian pocopoco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan.
Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah. Dan, kita mengalami defisit pemimpin bangsa (Presiden, anggota DPR, Menteri, dan Kepala Daerah) yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan. “Dewasa ini, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, ikut berbisnis, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya. Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya,” kata Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.
Rokhmin bilang, akar masalah (root cause) dari ketertinggalan bangsa kita adalah karena sejak awal Orde Baru, kita menganut sistem (paradigma) Kapitalisme (Mubyarto, 2004; Sritua Arief dan Rizal Ramli dalam Ridwan, 2014). Bukan Pancasila. Parahnya, kita kurang atau tidak mengambil sisi-sisi positip dari Kapitalisme, seperti kerja keras, disiplin, mencintai dan menguasai IPTEK serta inovasi. Tetapi, justru kita praktekan nilai-nilai Kapitalisme yang negatip, seperti rakus, hedonis, hanya mengejar untung sebesar-besarnya (profit maximization), mengeksploitasi yang lain (terutama yang lemah), dan tidak mempercayai kehidupan akhirat.
“Sejak awal Orde Baru sampai sekarang, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing. Akibatnya, keuntungan ekonomi (economic rent) dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing (regional leakages). Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagain kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remahremah’ nya saja,” katanya.
Indonesia Emas 2045
Selanjutnya, Rokhmin menjelaskan, untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa. Ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045.
Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021). Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya mata pencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarganya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosialekonomi harus berkelanjutan (sustainable).
Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi. Menurut United Nations (2008), “structural economic transformation involves the reallocation of productive factors from traditional agriculture to modern agriculture, manufacturing industry, and services; and the reallocation of those productive factors among manufacturing and service sector activities. It also means shifting resources (productive factors) from low- to high-productivity sectors. It is also associated with the nation’s capacity to diversify national production structure that is: to generate new economic activities, to strengthen economic linkages within the country, and to build domestic technological and innovation capabilities”.
“Mengacu pada definisi dan pengertian tentang transformasi structural ekonomi itu, maka untuk konteks Indonesia, transformasi struktural ekonomi mencakup enam elemen (proses) berikut. Pertama, dari dominasi kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable),” terangnya.
Kedua, Prof Rokhmin menjelaskan, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor. Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kemudian, keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Makanan Minuman, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya. Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan Industri 4.0. Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).
Di bidang lingkungan hidup, pertama adalah bahwa RTRW harus diimplementasikan secara serius dan konsisten di tingkat nasional, provinsi hingga ke Kabupaten/Kota. Kedua, pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus dikerjakan secara optimal, tidak melampaui potensi produksi lestarinya, dan ramah lingkungan. Ketiga, eksploitasi SDA tidak terbarukan (seperi minyak, gas, batubara, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan, didahului dengan studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), pemantauan lingkungan, dan pengelolaan lingkungan. “Pastikan bahwa masyarakat setempat (lokal) dilibatkan sejak awal perencanaan proyek pembangunan, dapat bekerja di proyek pembangunan, dan mendapatkan keuntungan (berkah) langsung,” ujarnya.
Sebagian keuntungan harus dialokasikan untuk rehabilitasi lingkungan yang rusak, dan pengembangan berbagai kegiatan usaha ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan, sebelum masa tambang berakhir. Keempat, pengendalian pencemaran dengan tidak membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ke lingkungan (seperti lahan darat, danau, sungai, dan laut). Limbah B3 harus diolah (treated) dahulu di instalasi pengolahan limbah B3, sampai netral (tidak berbahaya). Untuk limbah non-B3 boleh dibuang ke lingkungan, tetapi jumlah (laju) pembuangannya tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan alam untuk menetralisirnya.
Kelima, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) baik pada tingkat gen, spesies maupun ekosistem. Keenam, dalam mengubah (memodifikasi) bentang alam (landscape atau seascape), infrastruktur, gedung, kawasan pemukiman, kawasan industri. kawasan pertanian, dan ekosistem buatan manusia (man-made ecosystems) lainnya; kita mesti mengerjakannya berdasarkan prinsip dan prosedur ‘design and construction with nature’ atau sesuai dengan kondisi, struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam setempat. Ketujuh, mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.
Di bidang sosial-budaya, kita mesti meningkatkan kinerja sektor Pendidikan supaya semua anak, remaja, dan orang dewasa mampu menyelesaikan pendidikannya, dari jenjang PAUD, SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi dengan kualitas Pendidikan yang terbaik, a world-class education. Struktur tenagan kerja Indonesia yang saat ini terdiri dari 55% lulusan SLTP (18%) dan lulusan SD atau tidak tamat SD (37%), ke depan melalui perbaikan sektor Pendidikan, semua angkatan kerja minimal lulusan SLTP, seperti halnya di negara-negara maju dan makmur. Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi yang saat ini baru mencapai 36,3% pun bisa meningkat seperti di negara-negara maju dan makmur diatas 60%.
Kinerja sektor Kesehatan mulai sekarang juga harus disempurnakan untuk menurunkan angka stunting anak-anak kita dari sekarang 24,4% menjadi 14% pada 2024, gizi buruk dari 17,7% menjadi 10%, dan berbadan kurus dari 10,2% menjadi 5%. Kapasitas riset dan inovasi mulai sekarang juga harus ditingkatkan hingga seperti di negara-negara maju dan makmur. Pasalnya, kapasitas riset dan inovasi sangat menentukan produktivitas dan daya saing suatu bangsa. Terakhir adalah perbaikan etos kerja dan akhlak bangsa melalui Pendidikan agama, budipekerti, contoh teladan dari orang tua dan tokoh masyarakat, dan penciptaan sistem sosial yang kondusif bagi tumbuh kembangnya insan-insan Indonesia yang beretos kerja unggul, berkahlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.
Di bidang politik-hukum-keamanan, pertama yang mesti dibenahi adalah tata kelola pemerintahan yang hingga kini belum mencapai kinerja sebagaimana di negara-negara maju dan makmur. Praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) bukannya membaik, malah kian merajalela. Maka, prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) termasuk transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan melayani publik (rakyat) mesti dilaksanakan di setiap unit kerja pemerintah, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sampai desa. :Hukum sungguh-sungguh harus ditegakkan secara tegas, keras, adil, tanpa pandang bulu, dan berwibawa. Jaminan rasa aman dan keadilan harus benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat kita,” tegasnya.
Sistem sosial budaya dan polhukam harus menciptakan masyarakat meritokrasi, yakni sistem kehidupan sosial yang memberikan penghargaan dan kepercayaan kepada setiap warga negara yang kompeten, beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan berprestasi untuk menduduki jabatan tinggi dan terhormat di pemerintahan, perusahaan swasta, dan Lembaga-lembaga lainnya. Sebaliknya, bagi warga negara yang pemalas, etos kerjanya rendah, akhlaknya buruk, dan bikin masalah melulu mesti diberi hukuman (punishment), disinsentif, dan efek jera.
Selanjutnya, pemerintah berkewajiban untuk memperbaiki kompetensi, etos kerja, dan akhlak dari semua warga negara yang terkena masalah ini. Dengan demikian, generasi mendatang akan berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dan berprestasi agar bisa hidup sukses, terhormat, dan bahagia. Stop praktik PILKADA, PILEG, PILPRES, dan PEMILU yang selama ini sangat dipenuhi oleh politik uang (money politics), yang mengakibatkan biaya sangat tinggi. Sehingga, ujungnya lebih dari 70 persen Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Yang lebih mencemaskan, di tingkat nasional, kini negara dikuasai oleh oligarki (kerjasama elit politik dan konglomerat jahat) untuk merampok kekayaan negara dan ‘menjual negara’ ke pihak asing. Kini saatnya kita menyudahi demokrasi liberal dengan ‘one man, one vote’ nya. Dan, kemudian menerapkan demokrasi yang berlandaskan pada hikmah dan kebijksanaan melalui permusywaratan/perwakilan (Sila-4 Pancasila).
Kekuatan pertahanan nasional yang meliputi SDM, alusista, infrastruktur, dan anggaran harus ditingkatkan supaya berwibawa dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kekuatan ekonomi, IPTEK, dan Hankam yang tangguh, berkelaas dunia; kita akan mampu melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sekaligus turut menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Semua kebijakan dan program pembangunan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, dan polhukam diatas haruslah berdasarkan pada Pancasila, sebagai pengganti sistem Kapitalisme.
Ekonomi Hijau dan Ekonomi Digital
Lahirnya paradigma Green Economy,sejak akhir 1980-an sejatinya merupakan response dan koreksi atas kegagalan paradigma ekonomi konvensional (Kapitalisme) seperti saya uraikan diatas. Menurut UNEP (2011) “Green Economy is one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities” (Ekonomi Hijau adalah sistem ekonomi yang menghasilkan perbaikan kesejahteraan manusia serta pemerataan sosial, dan secara simultan mengurangi risiko (kerusakan) lingkungan dan kelangkaan ekologis).
Secara lebih operasional, Green Economy dapat kita maknai sebagai system ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon) atau tanpa karbon (zero-carbon emission), tanpa membuang limbah atau sedikit limbah (zero or low-waste), menggunakan SDA secara efisien dan tidak melampui kemampuan pulihnya, dan secara sosial hasilnya (pertumbuhan ekonomi atau kesejehteraan nya) dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia secara adil (socially inclusive) dan berkelanjutan (sustainable) (Dahuri, 2021).
Sejak awal abad-21 (tahun 2000) dunia mengalami perubahan yang super cepat dengan lahirnya berbagai jenis teknologi yang berbasis pada teknologi digital, IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligent), Big Data, Blockchain, Cloud Computing, 3-D Printing, Augmented Realiyty dan Virtual Reality (METAVERSE), automasi, robotics, new materials, biotekonolgi, dan nanoteknologi. Tahun 2000 juga disebut sebagai awal dari Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0) yang melahirkan berbagai jenis teknologi baru tersebut (Schwab, 2016). Beragam teknologi baru itu telah dan akan menimbulkan perubahan dan disrupsi di hampir semua aspek (bidang) kehidupan manusia.
Disrupsi adalah terjadinya perubahan dalam suatu aspek kehidupan yang sangat fundamental dan berlangsung super cepat. Disrupsi selalu diawali dengan inovasi teknologi maupun inovasi non-teknologi, yang memutus mata rantai berbagai jenis teknologi, metoda, pendekatan, dan cara lama, yang lahir sebelumnya (Adiningsih, 2019).
Inovasi Disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada,dan pada akhirnya menggantikan teknologi yang terlebih dahulu ada. Inovasi disruptif mengembangangkan suatu produk atau layanan dengan cra yang tidak diprediksi pasar, umumnya dengan menciptakan segmen konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama. Sebagai negara yang bergerak ke arah digitalisasi atau disebut juga sebagai tranformasi digital di berbagai sektor pembangunan, Indonesia juga mengalami era disrupsi ini. Adalah hal yan lumrah, bahwa disrupsi itu selalu menghadirkan pihak-pihak yang menang dan diuntungkan (winners) dengan adanya disrupsi tersebut, dan ada pihak-pihak yang kalah (lossers).
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang sangat luas dan memiliki jumlah penduduk usia produktif yang tinggi. Oleh karena itu, pengaruh dan dampak disrupsi sangat beragam. Di wilayah Indonesia bagian barat, pengaruh dan dampak disrupsi cenderung lebih signifikan dan positif dibandingkan dengan di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Meski demikian, Indonesia membuka diri terhadap banyak opsi dalam memasuki era digital karena akan berpengaruh terhadap masa depan bangsa. Indonesia dapat memanfaatkan perkembangan baru ini untuk keuntungan semua rakyat.
“Memang perubahan-perubahan kerena transformasi digital belum banyak dipahami saat ini. Namun, apabila dapat diantisipasi dengan lebih baik, cepat, dan sigap, Indonesia dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraa rakyat, baik di wilayah barat, tengah, maupun timur,” ujarnya.
Untuk itu, selain di aspek rantai pasok (supply chain) seperti Gojek, Gofood, dan Hallodoc, penemuan dan aplikasi inovasi teknologi digital juga harus dilaksanakan di sub-sistem eskplorasi, produksi, dan manufacturing (pengolahan) di semua sektor pembangunan, seperti Kelautan dan Perikanan, Pertanian, Kehutanan, ESDM (Energid an Sumber Daya Mineral), Industri Manufaktur, dan Pariwisata. Supaya produktivitas, produksi, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) dari semua sektor itu dapat meningkat secara ramah lingkungan berkelanjutan (sustainable).
Pancasila Sebagai Ideologi Dunia
Untuk mencegah dunia dari kehancuran, maka masyarakat dunia harus memperbaiki Sistem Kapitlisme secara fundamental atau mencari alternative paradigma pembangunan yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan diatas. Karena, paradigma pembangunan utama lainnya, Komunisme telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya Emporium Uni Soviet, maka Pancasila dapat menjadi paradigm alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan.
Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME. Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama). Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh ruh (rohani). Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lainnya, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual. Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara.
Setelah kematian, manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi. Semua harta-benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam kubur dan akhirat. Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya. Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak.
Dengan world view diatas, maka seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti akan dilandasi dengan keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME. Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia. Mengutamakan persaudaraan, toleransi , dan persatuan, ketimbang perpecahan, apalagi perang. Mengedepankan azas musyawarah – mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan voting dan pemilihan langsung. Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, IPTEK, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan.
“Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan,” pungkas Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany ini.
Editor: Tokohkita