Rokhmin Dahuri
Implementasi Ekonomi Biru Butuh Kebijakan Ekonomi Politik yang Kondusif
- Beranda /
- Kabar /
- LINGKUNGAN /
- Minggu, 7 Agustus 2022 - 04:57 WIB
Kapitalisme telah gagal mengangkat warga dunia dari kemiskinan dan kelaparan. Meski dalam 50 tahun terakhir rata-rata kemakmuran global telah berlipat ganda, tapi sekitar 1,3 miliar orang tetap miskin dan sekitar 700 juta orang kelaparan jika merujuk data UNEP 2022.
TOKOHKITA. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, dengan menerapkan teknologi ekonomi biru dan Industri 4.0, pembangunan pesisir dan laut tidak hanya akan membuat umat manusia mampu mengatasi masalah kronisnya, termasuk tingginya pengangguran dan kemiskinan, melebarnya ketimpangan ekonomi, dan tiga krisis ekologi, tetapi juga akan membuat dunia menjadi lebih baik dan berkelanjutan.
Selama 50 tahun terakhir, paradigma ekonomi arus utama global, kapitalisme telah mendorong pertumbuhan ekonomi global hampir lima kali lipat, sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan atau dan kemajuan teknologi.
"Sayang, kapitalisme telah gagal mengangkat warga dunia dari kemiskinan dan kelaparan. Meski dalam 50 tahun terakhir rata-rata kemakmuran global telah berlipat ganda, tapi sekitar 1,3 miliar orang tetap miskin dan sekitar 700 juta orang kelaparan jika merujuk data UNEP 2022," kata Rokhmin saat menjadi narasumber pada acara International Conference and Sustainable Fisheries Marine 2022 (INFISMA) yang digelar secara virtual oleh Universitas Panca Sakti Tegal, Sabtu (6/8/2022).
Menurut Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong itu, kapitalisme juga telah menjadi akar penyebab melebarnya ketimpangan ekonomi, yakni kesenjangan antara populasi kaya dan miskin, baik di dalam maupun di antara negara-negara di dunia. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa keserakahan manusia dan memaksimalkan keuntungan sebagai prinsip dasar kapitalisme telah mendorong eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan pelepasan berlebihan limbah dan gas rumah kaca ke lingkungan.
Alhasil, mengakibatkan tiga krisis ekologi, yakni iklim global perubahan, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi." Seperti krisis ekologi tiga kali lipat jika tidak ditangani dengan baik dan cepat akan mengancam tidak hanya pembangunan ekonomi tetapi juga kelangsungan hidup manusia itu sendiri,” katanya.
Yang terag, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, kebutuhan akan sumber daya alam (pangan, produk farmasi, kayu, energi, mineral,) terus mengalami peningkatan. Sementara itu, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan jasa lingkungan di darat (ekosistem terestrial) terbatas, menurun, atau sulit berkembang.
Karena sekitar 72% permukaan bumi ditutupi oleh perairan laut (laut dan samudera); ekosistem laut dengan kekayaan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terkandung menawarkan kapasitas tambahan bumi untuk memenuhi permintaan manusia yang meningkat akan sumber daya alam, ruang hidup, dan jasa lingkungan.
"Namun, kebijakan dan kegiatan pembangunan yang tidak pandang bulu dan sembrono, terutama sejak Perang Dunia II telah menyebabkan penangkapan ikan yang berlebihan, polusi, degradasi fisik ekosistem pesisir, dan hilangnya keanekaragaman hayati pada tingkat yang telah mencapai atau melampaui daya dukung banyak wilayah pesisir dan laut di seluruh dunia," ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Pada akhirnya, Rokhmin bilang, pemanasan Global dan dampak negatifnya (pemanasan suhu laut, pengasaman laut, cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut) telah menambah tekanan pada keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut. Sejatinya, lautan global menyediakan barang dan jasa ekosistem penting bagi umat manusia yang mencakup pengaturan iklim bumi, sistem pendukung kehidupan, serta penyediaan makanan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.
Rokhmin menyebutkan, laut tidak hanya vital bagi perekonomian dunia, tetapi juga keseimbangan dan kelangsungan hidup lingkungan dimana hampir tiga perempat (72%) dari planet Bumi ditutupi oleh perairan laut (5 samudera dan banyak lautan), 97?ri air bumi terletak di laut dan samudera, dan di dalam laut dan samudera terletak 97?ri permukaan bumi.
Fakta-fakta lainnya adalah pertama, zona pesisir hanya mencakup sekitar 8?ri luas daratan bumi, tetapi menghasilkan sekitar 45% sumber daya alam dan jasa lingkungan bumi (Costanza, 1998). Kedua, sekitar 65?ri populasi dunia tinggal di wilayah pesisir, dan pada tahun 2030 jumlahnya diperkirakan akan mencapai tiga perempat dari populasi dunia.
Ketiga, tiga perempat kota besar dunia berada di wilayah pesisir (UNDP, 2010). Keempat, pesisir dan lautan menyediakan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat besar yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi dan kelangsungan hidup manusia.
Mengutip Prager dan Earle, Rokhmin menyatakan bahwa melalui proses ekologi, siklus biogeokimia, dan sistem pendukung kehidupan, pantai dan lautan telah menopang dan membentuk keberadaan manusia di Bumi sejak kehidupan pertama kali muncul dari laut purba.
“Pantai dan lautan memainkan peran penting dalam keamanan, pertahanan, dan kedaulatan negara mana pun, terutama negara pantai. Pesisir dan lautan memiliki informasi ilmiah yang tak terhitung jumlahnya di berbagai bidang yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan peradaban manusia yang berkelanjutan,” jelas Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan tersebut.
“Ekonomi kelautan (Blue Economy), mencakup semua kegiatan ekonomi yang terjadi di wilayah pesisir dan lautan, dan di wilayah darat yang menggunakan bahan baku atau sumber daya alam yang berasal dari pesisir dan lautan,” tambahnya.
Terlepas dari peran dan fungsi penting pantai dan lautan, Rokhmin memaparkan, hampir di mana-mana, ekosistem pesisir dan laut berada di bawah tekanan pembangunan yang luar biasa. Di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kelestariannya yang tercermin antara lain pada tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; penangkapan ikan yang berlebihan; kerusakan terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya; erosi dan sedimentasi; hilangnya keanekaragaman hayati; konflik pemanfaatan ruang; dan kemiskinan.
“Hal ini terutama terjadi di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur Laut Cina,” ungkapnya.
Secara detail masalah yang dihadapi tersebut diatas dalah hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, terutama penangkapan ikan yang berlebihan, polusi termasuk plastik, erosi dan sedimentasi, perubahan iklim global dan dampak negatif yang menyertainya seperti pemanasan suhu laut, pengasaman laut, cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut, kemudian Konflik pemanfaatan ruang, serta Kemiskinan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan diatas, Rokhmin menjabarkan beberapa langkah dan strategi diantaranya; pertama, menetapkan rencana tata ruang terpadu daerah dataran tinggi-pesisir-laut di wilayah tertentu.
“Sekurang-kurangnya 30?ri luas kawasan tersebut harus disisihkan sebagai kawasan lindung (konservasi), dan sisanya (<70>
Kedua, tingkat pemanfaatan sumber daya terbarukan seperti stok ikan, hutan bakau, terumbu karang, dan sumber daya hayati lainnya tidak boleh melebihi kapasitas terbarukan. Ketiga, Pemanfaatan sumber daya tak terbarukan termasuk minyak dan gas bumi, serta sumber daya mineral harus dilakukan secara ramah lingkungan, dan rente ekonominya harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat pesisir, mengembangkan bahan pengganti, dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.
Keempat, untuk menjamin produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan setiap unit usaha dalam ekonomi kelautan, setiap unit usaha harus, memenuhi skala ekonomi, menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan/Nilai Terpadu, memanfaatkan teknologi tercanggih era Industri 4.0, dan dilakukan secara ramah lingkungan dan sosial.
Kelima, semua kegiatan pembangunan (sektor ekonomi) harus menggunakan teknologi zero-waste dan zero-emission. Keenam, berhenti menggunakan energi tak terbarukan (minyak, batubara, dan gas), dan gunakan energi terbarukan dan bersih termasuk matahari, angin, air (PLTA), panas bumi, bioenergi, dan energi laut (misalnya pasang surut, ombak, arus, dan OTEC).
Ketujuh, konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. Kedelapan, Pengendalian polusi dengan menerapkan teknologi zero-waste, teknologi 3 R (Reduce, Reuse, and Recycle), instalasi pengolahan air limbah, ekonomi sirkular, dll. Kesembilan, kegiatan desain dan konstruksi di wilayah pesisir dan laut harus sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika unit tertentu dari zona pesisir dan laut. Kesepuluh, Menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi menghindari atau mengurangi risiko Perubahan Iklim Global, tsunami, badai, dan bahaya alam lainnya.
“Memastikan bahwa semua orang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. yaitu pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Meningkatkan akses masyarakat lokal terhadap teknologi, infrastruktur, permodalan, pasar, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya dengan mendorong transformasi gaya hidup, dari konsumtif, hedonis, dan rakus menjadi lebih sederhana (sederhana), tidak berlebihan, dan peduli dan berbagi. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dan penguatan kelembagaan,” tandasnya.
“Yang juga tidak kalah pentingnya lagi adalah kebijakan ekonomi politik yang kondusif bagi implementasi ekonomi biru dan Industri 4.0,” pungkas Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu
Editor: Tokohkita