Rokhmin Dahuri
Penerapan Ekonomi Islam dalam Blue Economic Dapat Memperbaiki Kegagalan Kapitalisme
Ekonomi hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan.
TOKOHKITA. Ekonomi hijau dan ekonomi biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan paradigma ekonomi konvensional atau kapitalisme yang melahirkan 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan pemanasan global.
Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, saat memberikan mata kuliah Islamic Economics Winter Course 2022, Department of Islamic Economics, Fakultas Ekonomi dan Manajemen–IPB University, yang digelar secara daring, Selasa (20/9/2022).
Adapum makalah yang dipaparkan bertema Digitalization Of Islamic Social Finance Towrads Islamic Blue Economy atau Digitalisasi Keuangan Sosial Islam Menuju Ekonomi Biru Islam. Menurut Rokhmin, ekonomi hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan.
"Pada dasarnya, blue economy merupakan penerapan ekonomi hijau di wilayah laut (in a Blue World). “Ekonomi biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan,” terangnya.
Selanjutnya, ekonomi kelautan mencakup semua kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan di wilayah darat yang menggunakan bahan baku atau sumber daya alam yang berasal dari pesisir dan lautan. Rokhmin menjelaskan, ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan infrastruktur hijau, teknologi dan praktik, mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif, dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis.
Pada kesempatan itu, Rokhmin menjelaskan, kelemahan utama (kekurangan) paradigma pembangunan konvensional (Kapitalisme) dalam pembangunan ekonomi, khususnya di sektor ekonomi kelautan ditandai oleh sebagian besar nelayan, pembudidaya ikan, dan warga pesisir lainnya masih miskin, kontribusinya terhadap perekonomian nasional. (PDB) masih rendah, ketimpangan ekonomi tinggi, dan tidak berkelanjutan.
Rokhmin meyakini penerapan ekonomi Islam dalam blue economic development sangat mampu mengatasi semua kekurangan dan kegagalan paradigma ekonomi kapitalis. “Sekaligus memanfaatkan seluruh potensi pengembangan ekonomi biru untuk kemajuan, kemakmuran, perdamaian, dan kebahagiaan masyarakat dunia, secara adil dan berkelanjutan,” tuturnya.
Menurutnya, ada tiga konsep fundamental dari dasar pandangan dunia Islam, yakni terkait tauhid (keesaan Tuhan), khilafah (wakil dari manusia), serta Adalah (keadilan) dan falah. 'Tauhid menjadi konsep inti karena dua lainnya membentuk turunan logisnya. "Tauhid berarti desain dan penciptaan alam semesta dengan anggun oleh Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta tidak muncul secara kebetulan, yang diciptakan di alam semesta memiliki tujuan.
Adapun khalifah memiliki semua sumber daya yang dimilikinya. Dia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki pengetahuan sempurna tentang karakter mereka yang tepat, positif dan negatif. Hanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk menyediakan bagi mereka dan membimbing yang memenuhi sifat dan kebutuhan mereka.
“Tuhan dari rahmat-Nya yang tak terbatas telah membimbing umat manusia dengan mengungkapkan hukum perilaku, nilai, keyakinan melalui rantai utusan termasuk Abraham, Musa, Yesus, dan Nabi Muhammad SAW,” terang Wakil Ketua Dewan Pakar FKA-ESQ itu.
Di sisi lain, manusia dikaruniai kehendak bebas, tetapi untuk mencapai kesejahteraan (falah) yang hakiki perlu menerima dan menerapkannya dalam kehidupan individu dan kolektif mereka. "Pada saat yang sama status khalifah membuat manusia bertanggung jawab untuk hidup sesuai atau tidak dengan bimbingan dan mereka akan dihargai atau dihukum untuk hal yang sama di akhirat,” sebutnya.
Terlepas dari peran dan fungsi penting pantai dan lautan, Rokhmin bilang, hampir di mana-mana, ekosistem pesisir dan laut berada di bawah tekanan pembangunan yang luar biasa. Di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kelestariannya yang tercermin antara lain pada tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; penangkapan ikan yang berlebihan; kerusakan terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya; erosi dan sedimentasi; hilangnya keanekaragaman hayati; konflik pemanfaatan ruang; dan kemiskinan.
“Hal ini terutama terjadi di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur Laut Cina,” ungkapnya.
Berbeda dengan industri pertambangan (minyak, gas, dan mineral), industri maritim, dan wisata bahari; sebagian besar unit usaha di bidang perikanan tangkap (perikanan), budidaya pesisir dan laut, dan industri pengolahan ikan adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum memenuhi skala ekonomi, menerapkan teknologi seni (teknologi Industri 4.0), menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan dan Nilai Terpadu, dan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Akibatnya, sebagian besar unit usaha di tiga sektor ekonomi kelautan (ekonomi biru) kurang menguntungkan, kompetitif, dan berkelanjutan Kondisi bisnis ini membuat mayoritas nelayan tradisional, pembudidaya (pembudidaya ikan), pengolah dan pedagang ikan masih berkutat pada kemiskinan dan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB sebagian besar negara pantai masih rendah, misalnya 2,85% untuk Indonesia.
Sebagian besar perusahaan modern dan besar di sektor ekonomi biru berasal dari ibu kota nasional atau kota-kota besar, dan luar negeri (MNCs) yang membawa 'sewa ekonomi' (keuntungan) mereka ke markas mereka (nasional dan luar negeri) Hal ini pada gilirannya menghasilkan 'penghasilan regional kebocoran'. Infrastruktur dan talenta digital yang tidak memadai di sebagian besar wilayah pesisir, pulau kecil, dan laut telah menghambat penerapan teknologi Industri 4.0 (misalnya Big Data, AI, IoT, Blockchain, Cloud Computing, drone, dan robotika) dalam pengembangan, investasi, dan pengembangan Blue Economic. dan unit bisnis.
Kurangnya akses bagi UMKM di sektor ekonomi biru untuk memperoleh investasi dan modal kerja dari sektor perbankan (bank credit line), infrastruktur, inovasi teknologi, pasar, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. Kualitas sumber daya manusia (human capital) sebagian besar masih rendah. Selanjutnya, kebijakan politik-ekonomi umumnya kurang kondusif bagi Pembangunan Ekonomi Biru.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan diatas, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan beberapa langkah dan strategi diantaranya; pertama, menetapkan rencana tata ruang terpadu daerah dataran tinggi-pesisir-laut di wilayah tertentu.
“Sekurang-kurangnya 30?ri luas kawasan tersebut harus disisihkan sebagai kawasan lindung (konservasi), dan sisanya (<70>
Kedua, Tingkat pemanfaatan sumber daya terbarukan seperti stok ikan, hutan bakau, terumbu karang, dan sumber daya hayati lainnya tidak boleh melebihi kapasitas terbarukan. Ketiga, Pemanfaatan sumber daya tak terbarukan termasuk minyak dan gas bumi, serta sumber daya mineral harus dilakukan secara ramah lingkungan, dan rente ekonominya harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat pesisir, mengembangkan bahan pengganti, dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.
Keempat, Untuk menjamin produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan setiap unit usaha dalam ekonomi kelautan, setiap unit usaha harus: (1) memenuhi skala ekonomi, (2) menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan/Nilai Terpadu, (3 ) memanfaatkan teknologi tercanggih era Industri 4.0, dan (4) dilakukan secara ramah lingkungan dan sosial.
Kelima, Semua kegiatan pembangunan (sektor ekonomi) harus menggunakan teknologi zero-waste dan zero-emission. Keenam, Berhenti menggunakan energi tak terbarukan (minyak, batubara, dan gas), dan gunakan energi terbarukan dan bersih termasuk matahari, angin, air (PLTA), panas bumi, bioenergi, dan energi laut (misalnya pasang surut, ombak, arus, dan OTEC).
Ketujuh, Konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. Kedelapan, Pengendalian polusi dengan menerapkan teknologi zero-waste, teknologi 3 R (Reduce, Reuse, and Recycle), instalasi pengolahan air limbah, ekonomi sirkular, dll. Kesembilan, kegiatan desain dan konstruksi di wilayah pesisir dan laut harus sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika unit tertentu dari zona pesisir dan laut.
Kesepuluh, Menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi menghindari atau mengurangi risiko Perubahan Iklim Global, tsunami, badai, dan bahaya alam lainnya.
Editor: Tokohkita