Rokhmin Dahuri
UU Daerah Kepulauan untuk Meningkatkan Daerah Kepulauan Bisa Maju dan Mandiri
Akar permasalahan (root causes) dari ketertinggalan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (daerah provinsi, Kabupaten/kota kepulauan) adalah karena rendahnya alokasi APBN, minimnya infrastruktur dan konektivitas, dan rendahnya aktivitas investasi, produksi serta bisnis.
TOKOHKITA. Meskipun ada kemajuan (perbaikan) hampir di semua bidang kehidupan, namun sudah 77 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘a lower-middle income country’ dengan GNI perkapita US$ 4.140 pada tahun ini. Demikian disampaikan Pakar Ilmu Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. pada Working Group Discussion Forum Daerah Kepulauan dengan mengusung tema “Daerah Kepulauan dan upaya Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan”, yang diselenggarakan PT Tempo Inti Media Tbk, di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Kamis (1/11/2022).
Menurut Rokhmin, banyak faktor yang menyebabkan Indonesia belum mampu menjadi negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat, mulai dari belum adanya konsep atawa Road Map dan Blueprint Pembangunan Bangsa yang komprehensif dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan sampai belum adanya pemimpin bangsa yang negarawan (cerdas, capable, taat hukum, tidak mementingkan diri dan kelompoknya, berakhlak mulia, dan IMTAQ menurut agamanya).
“Dan, salah satu penyebab utamanya adalah karena platform pembangunan nasional yang berbasis daratan (kontinental) di negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah laut sekitar 77% total wilayah NKRI. Padahal, ‘Geography is Destiny’,” tandas Ketua Dewan Pakar Aspeksindo itu.
Sejatinya, potensi pembangunan (SDA dan JASLING) yang luar biasa besar di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut (provinsi-provinsi daerah kepulauan) belum dimanfaatkan secara optimal atau ‘dicuri’ pihak asing. Akibatnya,sebagian besar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat tertinggal, miskin, dan hanya dihuni oleh penduduk yang kurang produktif [usia < 15> 64 tahun atau lansia], shingga menjadi beban pembangunan (cost center), bukan pusat kemajuan dan kemakmuran (competitiveness and profit centers).
Akar permasalahan (root causes) dari ketertinggalan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (daerah provinsi, Kabupaten/kota kepulauan) adalah karena rendahnya alokasi APBN, minimnya infrastruktur dan konektivitas, dan rendahnya aktivitas investasi, produksi serta bisnis.
Rendahnya alokasi APBN untuk Propinsi, Kabupaten/Kota Daerah Kepulauan (dana transfer ke daerah), karena selama ini Pemerintah RI (pusat) mengalokasikan dana transfer ke daerah hanya berdasarkan pada luas daratan dan jumlah penduduk. Sementara itu; Propinsi, Kabupaten/Kota Daerah Kepulauan sebagian besar wilayahnya (>75%) berupa laut.
UU Daerah Kepulauan selain dapat meningkatkan dana transfer, UU ini juga akan: (1) meningkatkan pembangunan infrastuktur dan konektivitas; (2) memikat SDM berkualitas; (3) meningkatkan aktivitas investasi, produksi dan bisnis; (4) memacu daya saing dan pertumbuhan ekonomi berkualitas; (5) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah kepulauan; dan (6) mengurangi secara signifikan disparitas pembangunan antar wilayah.
“Oleh sebab itu, RUU Daerah Kepulauan yang sudah disusun sejak awal 2004, diusulkan Pemerintah kepada DPR sejak 2005, dan masuk Prolegnas 2021 dan 2022; dan kembali masuk dalam Prolegnas 2023; sudah semestinya menjadi UU Daerah Kepulauan pada 2023 (tahun depan) !” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.
Menurutnya, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini.
Selanjutnya, Rokhmin juga menyoal tentang untuk lapangan kerja 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 20%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%. Kontirbusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials). Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014).
“Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia sejatinya memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” katanya.
Rokhmin juga meyakini, UU Daerah Kepulauan akan meningkatkan kemampuan provinsi-provinsi, kabupaten/kota daerah kepulauan untuk membangun wilayahnya berbasis ekonomi kelautan untuk menjadi daerah-daerah maju, sejahtera, dan mandiri. “Sekaligus berkontribusi signifikan dalam mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan Indonesia Emas pada 2045,” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.
Editor: Tokohkita