Rokhmin Dahuri
Urusan Pangan adalah Hidup Matinya Sebuah Bangsa
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan, bahwa pangan adalah hak azasi manusia, karena menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, kualitas SDM, dan kemajuan suatu bangsa.
TOKOHKITA. Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Kabupaten Cirebon menggelar Sarasehan Kemandirian Pangan dengan tema “Model Kolaborasi Pentahelix Untuk Kemandirian Pangan Wilayah Ciayumajakuning” di Auditorium Kampus 1 UGJ Cirebon, Senin (26/12/2022).
Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk sharing dan diskusi terarah yang bertujuan untuk menelaah potensi daerah dan menumbuhkan kesadaran seluruh stakeholder yang berada di wilayah Ciayumajakuning akan pentingnya kemandirian pangan.
Dalam kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan, bahwa pangan adalah hak azasi manusia, karena menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, kualitas SDM, dan kemajuan suatu bangsa. “You are, what you eat,” ujarnya lewat paparannya bertema ”Pengembangan Kolaborasi Pentahelix Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan Di Wilayah Ciayumajakuning”.
Menurut Rokhmin, kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa. Seiring dengan pertambahan penduduk, permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Namun, sayangnya suplai pangan global cenderung menurun. Hal ini akibat demand semakin meningkat karena pertambahan penduduk, supply kian terbatas akibat alih fungsi lahan, global climate change (GCC), dan kerusakan lingkungan lainnya, negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, pandemi Covid-19, dan perang Rusia vs Ukraina; hingga mafia pangan.
Kemudian akibat pandemi Covid-19, menurut FAO pada tahun depan dunia menghadapi krisis pangan. Seiring dengan pertambahan penduduk, permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Lalu, kekurangan atau kelangkaan pangan dapat memicu gejolak sosial dan politik, hingga kejatuhan rezim pemerintahan.
Sebab itu, Rokhmin bilang, para pejabat dan pemangku kepentingan di Indonesia juga harus memandang dan melihat sektor pangan untuk kemajuan suatu bangsa. Menurutnya, pangan jangan dianggap hanya sektor ekonomi tetapi juga sektor kehidupan, bahwa semakin tinggi hubungan tingkat konsumsi protein hewani (daging & seafood) dan kemajuan ekonomi bangsa.
Di samping itu, kekurangan pangan dapat memicu gejolak politik kejatuhan rezim pemerintahan. Oleh karenanya, kata dia, semua elemen bangsa harus all out. Rokhmin juga mengingatkan pidato Proklamator RI Bung Karno yang berbicara tentang kedaulatan pangan dalam pidato pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952 di Bogor. "Menurut beliau [Soekarno], urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa,” ungkapnya.
Bahkan dari penelitian FAO, suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama). “Seharusnya kita tidak tiap tahun impor gandum, beras, sagu dan lainnya,” tandas Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan ini.
Mengutip data Kementan, Rokhmin memaparkan, sektor pertanian/pangan (pertanian, kehutanan, dan perikanan) menyerap sekitar 36% total angkatan kerja (130 juta orang, usia 15 – 64 tahun), dan menyumbangkan sekitar 20% PDB. Sementara itu, ada empat indikator kinerja kedaulatan pangan nasional. Yakni, produksi pangan, khususnya bahan pangan pokok lebih besar dari konsumsi nasional.
Kemudian, setiap warga negara di seluruh wilayah NKRI mampu mendapatkan bahan pangan pokok yang bergizi, sehat, dan mencukupi sepanjang tahun; serta petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha sejahtera. “Tidak kalah pentingnya, semua hal di atas itu harus berkelanjutan atau sustainable,” tuturnya.
Yang mencemaskan, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.
“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7?rgizi buruk, dan 10,2?rbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu. Menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%)
Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB),” ujar Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu menyatakan mengutip FAO. Atas dasar perhitungan tersebutnya, lanjutnya, ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022.
Rokhmin juga menerangkan, dengan posisi Strategis Ciayumajakuning posisi geografisnya strategis (akses ke Jakarta dan Bandung serta akses ke Semarang dan Yogyakarta) memiliki potensi. Adapun sektor pangan Ciayumajakuning, meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, kelautan dan perikanan. Sedangkan perikanan tangkap di PUD Ciayumajakuning meliputi 12 wilayah sungai,10 danau/situ/waduk/embung, rawa, dan genangan air lainnya.
Sedangkan 6 wilayah Sungai Ciayumajakuning meliputi Ciberes, Cilalanang, Cimanuk, Cipanas, Cisanggarung, dan Citanduy. Sementara tiga danau/situ/waduk/embung terluas di Ciayumajakuning diantaranya Telaga Remis, Telaga Biru Cicerem, dan Balong Keramat Darmaloka. “Total potensi lahan perikanan budidaya Ciayumajakuning sebesar 122.000 ha, dimana tingkat pemanfaatan hingga 2020 baru 20,39%, dengan dominan dari jenis budidaya air tawar,” ungkap Ketum Paguyuban Dulur Cirebonan (Ciayumajakuning) itu.
Sedangkan tantangan dan permasalahan sektor pangan di Ciayumajakuning antara lain: Pertama, mayoritas buruh tani, peternak dan nelayan masih miskin. Kedua, sebagian besar usaha (bisnis) di sektor pangan masih tradisional, tidak menerapkan economy of scale, Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir), teknologi terbaik (tepat – guna) dan mutakhir, dan prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity).
"Akibatnya produktivitas rendah, kurang efisien, gagal panen, komoditas dan produk kurang berdaya saing, petani dan nelayan miskin, dan kurang sustainable," jelas dia. Ketiga, hampir semua perusahaan pangan besar dan modern (korporasi) yang menerapkan keempat prinsip diatas yang sangat jaya, berdaya saing, menguntungkan (kaya), dan world class, itu ‘egois’ (rendah Nasionalisme nya), tidak bekerjasama dengan UMKM bidang pangan.
Keempat, porsi keuntungan (profit margin) terbesar dalam usaha (bisnis) di sektor pangan itu bukan dinikmati oleh petani dan nelayan (usaha on-farm), tetapi oleh pengusaha industri pengolahan dan pemasaran. Kelima, hilirisasi (industri pengolahan) komoditas pangan masih rendah, sebagian besar bahan pangan dijual (ekspor) dalam bentuk raw materials (bahan mentah). Akibatnya: nilai tambah (added value) nya rendah, kurang menghasilkan multiplier effects, kurang tahan lama, dan sukar didistribusikan.
Keenam, luas lahan pertanian dan luas lahan usaha (garapan), khususnya di sektor tanaman pangan, hortikultur, dan peternakan, semakin menyusut akibat alih fungsi untuk pemukiman, kawasan industri, infrastruktur, dan penggunaan lahan (land use) lainnya. “Akibatnya luas lahan pangan dan luas lahan usaha pangan (land to man ratio) semakin menurun, economy of scale tidak terpenuhi, volume produksi terancam, dan petani dan nelayan (usaha on-farm) miskin,” ujarnya.
Ketujuh, kebanyakan UMKM bidang pangan mengalami kesulitan dalam mendapatkan (membeli) sarana produksi (seperti benih, pupuk, pakan, obat-obatan, BBM) yang berkualitas, harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi. Kedelapan, produksi bibit dan benih unggul, dan pakan berkualitas, masih rendah, tidak mencukupi. Padahal, lebih dari 60% keberhasilan usaha pangan ditentukan oleh bibit dan benih unggul serta pakan. Di usaha perikanan budidaya dan peternakan, 60% biaya produksi untuk pakan.
Kesembilan, tidak ada jaminan (kepastian) pasar dengan harga yang sesuai nilai keekonomian (menguntungkan petani dan nelayan) bagi komoditas hasil panen petani dan nelayan UMKM. Kesepuluh, Infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian (pangan), baik secara kuantitas maupun kualitas, kurang memadai.
Kesebelas, mafia pangan, yang inginnya hanya impor pangan untuk meraup keuntungan maksimal, tanpa peduli dengan kedaulatan pangan nasional dan kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia. Keduabelas, Alokasi kredit perbankan untuk sektor pangan masih rendah, suku bunga tinggi, dan persyaratan terlalu ketat.
Ketigabelas, pada umumnya kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) relatif masih rendah, dan mengalami ‘penuaan’ (aging-agricultural population). Keempatbelas, Kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, RTRW, dan iklim investasi) kurang kondusif dan atraktif.
Di sisi lain, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah penyuplai beras yang potensial di Indonesia. Ironisnya, gabah hasil panen harganya sangat anjlok. “Akibatnya hasil yang diperoleh petani di Kabupaten Cirebon tidak sesuai dengan biaya operasional yang dikeluarkan,” sebut Rokhmin.
Editor: Tokohkita