Rokhmin Dahuri
Pembangunan Sektor Kemaritiman akan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, 77% wilayahnya berupa laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa SDA terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan yang luar biasa besar,
TOKOHKITA. Indonesia memiliki potensi sektor kemaritiman yang sangat besar dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa sekaligus menjadi modal penting mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Demikian diutarakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Rokhmin Dahuri saat memberikan kuliah umum di Fakultas Pertanian, Departemen Kelautan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (22/2/2023)
Menurut Rokhmin, pembangunan sektor kemaritiman akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan. “Ada setidaknya sembilan alasan (Reasonings) betapa besarnya potensi yang dimiliki bangsa ini di sektor ekonomi maritim,” katanya
Pertama, Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, 77% wilayahnya berupa laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa SDA terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang luar biasa besar, sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun atau 1,5 kali PDB Indonesia dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang (30% total angkatan kerja).
Kedua, Sebelas sektor Ekonomi Kelautan yang potensi nilai ekonominya US$ 1,4 trilyun/tahun itu dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 7%/tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja); mengurangi ketimpangan ekonomi; mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah; dan memperkuat kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral.
Ketiga, Secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis, dimana sekitar 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata US$ 15 trilyun/tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2016).
Keempat, ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap’ (perangkap unsur-unsur hara) à Sehingga, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi, dan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12 juta ton/tahun (13,3% total MSY ikan laut dunia).
Kelima, Sebagai bagian utama dari ‘the World Ocean Conveyor Belt’ (Aliran Arus Laut Dunia) dan terletak di Khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis merupakan pusat pengatur iklim global, termasuk dinamika El-Nino dan La-Nina (NOAA, 1998).
Keenam, Kondisi oseanografi, geomorfologi, dan klimatologi NKRI menjadikan Indonesia sebagai pusatnya energi kelautan dunia yang terbarukan (renewable), seperti arus laut, pasang surut, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang potensinya mencapai 10.000 megawatts, dan sampai sekarang baru dimanfaatkan kurang dari 5 persen
Ketujuh, SDA dan ruang pembangunan di daratan semakin menipis atau sulit untuk dikembangkan. Padahal, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, permintaan akan SDA, ruang pembangunan, dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin berlipat ganda à Laut sebagai ‘development space’: kota, pemukiman, dan kegiatan ekonomi.
Kedelapan, Suatu negara-bangsa akan lulus dari jebakan negara-mengah menjadi maju, makmur, dan berdaulat, bila ia mampu mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan pada keunggulan komparatif nya (Porter, 2013). Bagi Indonesia, keunggulan komparatif utamanya adalah geokonomi, SDA, dan jasa-jasa lingkungan kelautan.
Kesembilan, Sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Emporium Inggris, Amerika Serikat, dan akhir-akhir ini China adalah karena ketiga negara adidaya tersebut menguasai lautan, baik secara ekonomi maupun hankam. Maka, tepat yang dinubuatkan ahli strategi pertahanan dunia, AT. Mahan (1890), ‘who rules the waves, rules the world’. Siapa yang menguasai lautan, dia akan menguasai dunia.
“Jika Potensi ini didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi IPTEKS dan manajemen profesional, maka sektor-sektor ekonomi kelautan diyakini akan mampu berkontribusi dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa dan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia serta Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” tegas Rokhmin Dahuri yang juga mantan menteri kelautan dan perikanan itu.
Untuk mewujudkan harapan dan cita-cita tersebut, Indonesia kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu harus membuat Kebijakan dan Program Transformasi Struktural Ekonomi yakni dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) secara proporsional yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
“Dari dominasi impor dan konsumsi ke dominasi investasi, produksi dan ekspor. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, bernilai tambah (hilirisasi), berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan,” jelasnya.
Langkah selanjutnya adalah revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.
“Pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, Energi Baru Terbarukan (matahari, angin, panas bumi, biofuel, kelautan, dan hidrogen), Semikonduktor, Chips, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya,” tegasnya.
“Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 5) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0),” tambahnya.
Editor: Tokohkita