Rokhmin Dahuri
Upaya Mendorong Peningkatan Produksi Udang Nasional
Indonesia merupakan produsen dan pengekspor udang terbesar ke-4 sampai ke-2 terbesar di dunia dimana sekitar 80% total produksi udang Indonesia dari budidaya. Merujuk data KKP tahun 2022, sekitar 38% total nilai ekspor perikanan Indonesia (US$ 6 milyar) berupa udang.
TOKOHKITA. Budidaya udang memiliki peran strategis dan terus meningkat bagi Indonesia. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari beberapa faktor diantaranya permintaan dan harga udang sejak 1980-an sampai sekarang cenderung meningkat dan relatif stabil.
Selain itu, dengan 99.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada), Indonesia memiliki potensi produksi udang budidaya terbesar di dunia. Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Rokhmin Dahuri saat menjadi narasuber pada acara Shrimps Talk ‘Mengenal Budidaya Udang Lebih Dekat’ yang digelar secara daring, Selasa (20/6/2023).
Mantan menteri kelautan dan perikanan itu menuturkan bahwa Indonesia merupakan produsen dan pengekspor udang terbesar ke-4 sampai ke-2 terbesar di dunia dimana sekitar 80% total produksi udang Indonesia dari budidaya. Merujuk data KKP tahun 2022, Rokhmin menyebut sekitar 38% total nilai ekspor perikanan Indonesia (US$ 6 milyar) berupa udang.
“Usaha budidaya udang (tradisional, semi-intensif, intensif, dan supra intensif) cukup – sangat menguntungkan. Menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang sangat besar. Lokasi usaha budidaya tambak udang di wilayah pesisir, perdesaan, dan luar Jawa sehingga membantu mengurangi masalah disparitas pembangunan antar wilayah,’’ ujarnya
Ketua Umum Masyarakat AKuakultur Indonesia (MAI) itu mengatakan bahwa budidaya udang is not ‘rocket science’ dimana ayoritas rakyat Indonesia mampu menjalankan usaha budidaya tambak udang. ‘’Budidaya udang merupakan SDA terbarukan, membantu terwujudnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development),” tuturnya.
Namun begitu menurutnya, industri udang nasional dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya; belum ada informasi spasial kuantitatif yang akurat tentang distribusi tambak udang yang ada (existing) dan lokasi (kawasan) lahan pesisir yang potensial (suitable) untuk tambak udang berdasarkan RTRW per Kabupaten/Kota dan per Provinsi di NKRI.
“Pada umumnya pemda belum menganggap usaha tambak udang sebagai sektor unggulan (leading sector, prime mover), sehingga dalam RTRW sering tergeser oleh sektor lain (seperti industri manufaktur, pariwisata, pemukiman, business center, dan ESDM),” terangnya.
Selain itu, keterbatasan benur, pakan, obat-obatan, pedal wheel (kincir air tambak), dan sarana produksi lain yang berkualitas dan harga relatif murah di sekitar lokasi tambak udang, dan keterbatasan infrastruktur (irigasi tambak, jalan, listrik, telkom, pelabuhan, dan air bersih).
Untuk mendorong peningkatan produksi udang nasional, menurut dosen kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut ada berbagai strategi yang harus dijalankan diantaranya revitalisasi tambak udang, ektensifikasi, pengembangan inovasi teknologi budidaya, dan kebijakan ekonomi politik yang kondusif.
“Revitalisasi tambak udang tujuannya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (keuntungan), daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) setiap unit usaha tambak udang yang masih layak untuk direvitalisasi,” jelasnya.
Sedangkan teknologi dan manajemen untuk mencapai tujuan skala ekonomi, Best Aquaculture Practices, Internal Supply Chain Management Shrimp (ISCMS), dan Environmentally Sustainable Development Principles. ISCM untuk petambak individual, pemerintah membantu pengembangan kemitraan saling menguntungkan antara: produsen benur, produsen pakan, petambak, supplier, dan industri pengolahan.
“Caranya dengan dikoordinir oleh Pokja Nasional, bupat, walikota disetujui gubernur mengajukan unit-unit tambak udang yang layak untuk direvitalisasi di Kabupaten/Kota nya masing-masing, atau top down yang menentukan Pokja Nasional,” tegasnya.
Adapun program ekstensifikasi tambak udang dilakukan dalam ruang lingkup baik model klaster dengan spesifikasi lokasi berada di daerah (kawasan) relatif terpencil (remote areas), luas klaster dalam satu hamparan: 500 – 2.000 ha yang layak untuk dibangun hatchery, pabrik pakan, mini ice plant dan cold storage secara terpadu.
“Pada model klaster ini perusahan inti bertanggung jawab memasarkan komoditas atau produk udang olahan ke pasar ekspor dan domestik dengan pola usaha Inti-Plasma yang saling menguntungkan dan menghormati secara berkelanjutan, dimana Perusahaan Inti mengusahakan minimal 50% total luas tambak klaster. Pemerintah bertanggung jawab mencetak kawasan klaster tambak dan infrastruktur dasar (jalan, listrik, telkom, dan air bersih),” katanya.
Sedangkan untuk program ekstensifikasi tambak udang: model mandiri lokasi berada di daerah (kawasan) dengan aksesibiltas tinggi ke sumber sarana produksi dan pasar, dan infrastruktur memadai dengan luas tambak individu mandiri: 5 – 50 ha per pengusaha pemerintah bertanggung jawab: (1) peyediaan kredit perbankan dengan bunga ralatif murah dan persyaratan relatif mudah, (2) pendampingan teknis dan manajemen, dan (3) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang kondusif.
Sementara itu, klaster kolam bulat berbasis masyarakat bertujuan mensejahterakan rakyat kecil dan pemerataan kesejahteraan dimana penerima manfaat dari jenis klaster ini adalah rakyat kecil dan kelompok milenial dengan luas 4 ha per klaster; 2 ha untuk 60 unit kolam bulat, dan sisa lahan untuk kolam tandon, kolam sedimentasi, IPAL, dan prasarana.
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara tersebut menilai, model klaster budidaya udang rakyat untuk generasi milenial adalah dengan menggunakan teknologi kolam bundar berbasis inovasi teknologi diantaranya; pertama, Teknologi kolam bundar dengan pemanfaatan teknologi berbasis industri 4.0 (automatic feeder, water quality monitoring, nanobubble) yang dilengkapi aplikasi budidaya berbasis data (smart farming).
Kedua, skala ekonomi satu unit kolam bundar untuk mendapatkan pendapatan Rp 5 juta per bulan per pembudidaya adalah diameter 20 m ketinggian 1,5 m dengan kepadatan tebar 250 ekor/m2 Ketiga, Pengelolaan usaha budidaya dilakukan dalam bentuk KLASTER, dimana skala ekonomi klaster minimal 60 unit kolam (60 pembudidaya)
Adapun kebijakan politik ekonomi yang kondusif dalam mendorong industri udang nasional menurut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2019-2024 itu diantaranya adalah tambak udang harus masuk sebagai sektor unggulan (strategis) nasional dalam RTRW dan RZWP3K, Permudah, percepat, dan permurah perizinan usaha, Program kredit khusus dengan bunga 7?n persyaratan relatif lunak.
“Penciptaan iklim investasi dan kemudahan Berbisnis yang kondusif melalui keamanan berusaha (tidak ada lagi kriminilisasi petambak udang), konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum,” pungkasnya.
Editor: Tokohkita