Di Munas Gahawisri, Prof Rohmin Beberkan Tantangan Wisata Bahari Indonesia
Wisata Bahari mempunyai potensi besar untuk mengatasi permasalahan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045.
TOKOHKITA. Gabungan Usaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (Gahawisri) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IV di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Selasa (15/8) Munas diselenggarakan secara hybrid dan dibuka resmi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Sandiaga Uno.
Dalam kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. DR Rokhmin Dahuri menyampaikan keynote speech (pidato kunci) berjudul Penerapan Blue Economy Dalam Pembangunan Pariwisata Bahari Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045. Pembicara lainnya adalah Dr.Sapta Nirwandar, dan Prof. Dietrich Bengen, yang mengangkat tema “Peran Gahawisri dalam penerapan Blue Economy”.
Prof Rohmin mengemukakan, wisata Bahari mempunyai potensi besar untuk mengatasi permasalahan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Sebagai negara kepulauan terbesar (17.504 pulau) di dunia, yang 75% total wilayahnya (termasuk ZEEI) berupa laut, dan sekitar 99.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada); Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari (coastal and marine tourism) terbesar di dunia.
Sayang, karena berbagai faktor penyebab, pembangunan pariwisata bahari Indonesia hingga kini belum optimal. Indikator Kinerja Utama atau KPI nya (jumlah kunjungan wisatawan, devisa, kontribusi terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat lokal, dan environmental sustainability) masih relatif rendah,” ungkap Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan ini.
Menurut Rokhmin, tantangan pariwisata bahari berkelanjutan Indonesia antara lain, semangat dan profesionalisme para pengusaha pariwisata bahari Indonesia pada umumnya relatif masih rendah. Pada umumnya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Blue Economy) tidak diimplementasikan dalam pembangunan, investasi, dan bisnis pariwisata bahari, kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, etos kerja, dan akhlak) pada umumnya juga rendah; serta iInfrastruktur, konektivitas, akesesibilitas, dan amenities belum memadai.
“Selain itu, koordinasi dan sinergi antar lembaga pemerintah, antara pemerintah dengan swasta dan stakeholders lainnya kurang baik; kebijakan politik-ekonomi (moneter, fiskal, iklim investasi, ease of doing business, dll) belum kondusif,” ujar Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia.
Rokhmin selanjutnya memaparkan strategi pembangunan pariwisata bahari berkelanjutan Indonesia berbasis Blue Econony. Menurutnya, strategi itu mencakup tujuh hal. Pertama, revitalisasi obyek-obyek (destinasi) wisata bahari yang ada saat ini, sehingga lebih menarik bagi wisatawan, baik wisnu maupun wisman.
Kedua, pengembangan destinasi wisata baru yang inovatif dan atraktif. Ketiga, Product development jenis-jenis wisata bahari baru yang inovatif dan atraktif. Keempat, promosi dan pemasaran. Kelima, peningkatan kualitas SDM yang ramah kepada wisatawan. Keenam, peningkatan konektivitas dan aksesibilitas (termasuk bebas visa), infrastruktur, sarana, dan amenities. Ketujuh, kebijakan Politik Ekonomi (Moneter, Fiskal, Iklim Investasi, Kemudahan Berbisnis, dll) harus kondusif.
“Dengan catatan, revitalisasi, pengembangan destinasi, dan product development harus mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, RTRW, sesuai daya dukung lingkungan, zero waste, zero emission, konservasi biodiversitas, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, dan prosperity berkeadilan,” ujar Rokhmin.
Editor: Tokohkita