RSPO Tidak Kredibel dan Transparan dalam Mengambil Keputusan
Pada 10 Agustus 2023 RSPO mengirimkan Surat Keputusan Komplain Panel (Complain Panel, CP) RSPO. Keputusan itu menyatakan menolak pengaduan yang disampaikan oleh warga Entapang dan Krunang
TOKOHKITA. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melakukan pengambilan keputusan yang menyudutkan posisi Masyarakat Adat Dayak Hibun di Dusun Entapang dan Kerunang, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, korban PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS). RSPO memutuskan menolak aduan Masyarakat Adat Dayak Hibun setelah 11 tahun dilakukannya pengaduan.
Pengaduan dilakukan pada saat PT MAS masih merupakan anak usaha Sime Darby Group. PT MAS telah mencaplok lahan pertanian dan merampas sumber-sumber penghidupan Masyarakat Adat Dayak Hibun. Diduga terdapat proses ilegal dalam proses perolehan lahan untuk penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) PT MAS. Hal tersebut berdasar pada penerjemahan ‘Derasa’ sebagai proses peralihan kepemilikan lahan atau jual beli lahan dari petani kepada perusahaan, yang adalah tidak tepat.
Pada 10 Agustus 2023 RSPO mengirimkan Surat Keputusan Komplain Panel (Complain Panel, CP) RSPO. Keputusan itu menyatakan menolak pengaduan yang disampaikan oleh warga Entapang dan Krunang. Penolakan karena kurangnya bukti yang cukup atas pengaduan masyarakat dan PT. MAS bukan lagi anak usaha Sime Darby Group.
Redatus Musa, Anggota Masyarakat Adat Dayak Hibun menyampaikan bahwa RSPO telah gagal mematuhi berbagai peraturan dan prosedur RSPO sendiri, dan bahwa sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan tersebut, juga RSPO telah gagal memenuhi apa yang diharapkan Masyarakat terhadap RSPO. “RSPO telah mengabaikan HAM fundamental kami”, lanjut Redatus Musa.
“Saat ini kelapa sawit yang berasal dari kebun masyarakat atau skema kemitraan (plasma) tidak lagi dibeli oleh perusahaan. Hal ini sungguh sangat merugikan warga, pemenuhan rasa keadilan yang diharapkan dapat diberikan lewat jalur RSPO rasanya tidak juga berarti apa-apa. “Kami kecewa kepada RSPO dan marah besar karena RSPO menerjemahkan “derasa” dengan serampangan. “Derasa” bukan bukti ganti rugi, bukan dokumen jual beli, bukan pengalihan hak.”
Masyarakat Adat Dayak Hibun memiliki mekanisme adat yang disebut dengan “derasa”. Penafsiran istilah “derasa” yang memiliki arti sebagai hak sewa, bukan pelepasan hak atas tanah diperkuat dengan penafsiran yang dikeluarkan oleh Dewan Adat Dayak. Dewan Adat Dayak merupakan lembaga yang berwenang dan paling berhak untuk dapat menafsirkan istilah-istilah adat yang berkenaan dengan adat dayak.
Komunitas Dayak Hibun dan meminta kepada RSPO untuk mencabut keputusan tersebut, seraya meminta maaf kepada komunitas Dayak Hibun karena telah dengan sengaja menerjemahkan “derasa”.
“Kami memberi waktu kepada RSPO untuk meminta maaf 7x24 jam. Jika tidak kami akan memberikan sanksi adat yang berlaku di komunitas Adat kami. Saya mengajak kepada Seluruh warga untuk tidak lagi mengadukan kasusnya kepada RSPO. Kami kecewa, saya melihat Rapat Tahunan hanya sekedar seremonial, kami tidak pernah mendengarkan kasus kami dibicarakan. Kami juga meminta pendapat dari para ahli, apakah RSPO ini bisa jadi harapan dan mendukung keberlanjutan industri perkebunan sawit ini. Kami akan menempuh jalur adat dengan menerapkan sanksi adat kepada perusahaan,” kata Redatus Musa.
Dalam konteks penguasaan lahan, HGU PT MAS overlap dengan lahan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah fasilitas umum, seperti kantor desa, sekolah, tempat beribadah, dan pemukiman warga.
Hal ini semakin diperkuat dengan pandangan dari Salfius Seko, Pakar Hukum Adat, Universitas Tanjungpura. Safilus Seko menyebutkan bahwa hak warga tidak hilang dengan terbitnya HGU. Salfius Seko menjelaskan bahwa dengan dikeluarkannya HGU, hak keperdataan masyarakat tersebut telah hapus sesuai dengan Pasal 28 UUPA. Namun, hak keperdataan masyarakat tidak serta merta dihapus seiring dengan hapusnya hak atas tanahnya. Inilah pentingnya sebuah perjanjian antara perusahaan dan masyarakat dalam proses pembebasan tanah untuk HGU. Jika dalam perjanjian disepakati bahwa warga masyarakat masih mempunyai hak keperdataan atas tanah walaupun tanahnya sudah menjadi HGU, maka perjanjian inilah yang menjadi dasar bahwa hak masyarakat masih ada.
“CP telah keliru mendefinisikan “derasa” sebagai bukti peralihan tanah dari masyarakat kepada perusahaan.” Safilus Seko melanjutkan, “derasa berdasarkan konsep dan hasil penelitian yang pernah dilakukan, bukanlah merupakan proses peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh masyarakat adat (petani plasma) kepada perusahaan. Oleh karenanya, penafsiran yang dilakukan oleh perusahaan terhadap konsep “derasa” adalah keliru (berdasarkan konsep derasa rumpun suku Dayak Hibun). Peralihan hak atas tanah pada rumpun Suku Dayak Hibun terjadi karena beberapa hal, antara lain jual-beli, warisan, buka lahan, tukar guling, pemberian (poyo waris). Derasa ini adalah satu aktivitas adat yang biasa disebut dengan pradat. Dengan demikian, maka tidak ada peralihan hak atas tanah dari masyarakat kepada perusahaan.
Menurut Abdul Haris, pengkampanye TuK INDONESIA, RSPO sebagai sebuah lembaga tidak mengedepankan proses yang transparan dan akuntabel dalam memutuskan kasus PT MAS. “Keputusan CP menolak pengaduan pemohon setelah 11 (sebelas) tahun diproses adalah bentuk nyata buruknya sistem pengambilan keputusan pada RSPO”.
Hal yang paling krusial dengan sengaja dilanggar oleh RSPO, yaitu Prosedur Pengaduan dan Banding RSPO tahun 2018 yang merupakan pedoman dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan poin nomor 3 Keputusan CP bahwa Laporan Ahli Independen telah diterima pada tanggal 10 Februari 2020. Sesuai Bagian 12.3 disebutkan CP akan mempertimbangkan dan menyampaikan keputusan dalam enam puluh (60) hari kerja sejak penutupan tahap investigasi. Faktanya baru memutuskan pengaduan oleh pemohon pada tanggal 10 Agustus 2023.
Tidak hanya itu, merujuk Bagian 12.3.1 Analisis semua bukti (termasuk laporan dari investigator independen dan ahli) dan masukan dari Para Pihak dalam pengaduan. CP tidak melakukan analisis semua bukti dan masukan dari para pihak. Berdasarkan bukti dan pendapat ahli yang diajukan pemohon. Namun sayangnya, pendapat ahli tersebut tidak dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh CP.
Kami menduga RSPO sengaja mengulur waktu untuk mengambil keputusan sampai akhirnya PT MAS tidak lagi menjadi bagian dari Sime Darby Group. Berkaitan kasus ini, kami meminta kepada Panel Banding yang memeriksa perkara untuk:
1. Membatalkan Keputusan Panel Pengaduan tentang Pengaduan Terhadap PT Mitra Austral Sejahtera (sebelumnya suatu anak perusahaan Sime Darby Plantation Berhad) tertanggal 10 Agustus 2023;
2. Menyatakan Sime Darby sebagai induk perusahaan PT Mitra Austral Sejahtera sebelumnya tidak patuh terhadap Prinsip dan Kriteria RSPO dan mencabut keanggotaan Sime Darby sebagai anggota RSPO; dan
3. Apabila poin 1 dan poin 2 tidak dapat dipenuhi, maka sudah selayaknya RSPO menjadi wadah yang tidak relevan lagi dalam menghadirkan ruang pengaduan dalam penyelesaian konflik yang melibatkan anggotanya dengan masyarakat yang dirugikan.
Editor: Tokohkita