Muhammad E Fuady
Pilpres 2024 dan Narasi Pengkhianatan
Jadi sudah saatnya politisi hentikan narasi pengkhianatan. Dalam politik tak ada kawan yang abadi. Politisi memiliki keleluasaan untuk mengambil pilihan-pilihan yang rasional, kalkulatif, dan terukur untuk memenangkan pilpres.
Dalam perhelatan politik, narasi pengkhianatan sering disajikan kepada publik. Kita mengenal Brutus sebagai tokoh pengkhianat. Ia dianggap sebagai simbol pengkhianatan politik dan konspirasi terbunuhnya Julius Cesar. Pada banyak peristiwa, boleh jadi penelikungan itu benar terjadi, mungkin juga tidak.
Sejatinya politik itu tak mengenal area hitam dan putih. Politik itu grey area. Politik itu rasional dan kalkulatif. Semua serba boleh, serba bisa, dan serba mungkin. Kawan dan lawan abadi dalam politik adalah kepentingan. Apa yang menurut sebagian orang adalah pengkhianatan, dalam perspektif politik bisa berbeda. Ia adalah kemampuan untuk menciptakan momentum, kejelian mencermati situasi, kepiawaian memanfaatkan peluang, memilih ruang dan waktu dalam proses running for power
Dalam konteks kekinian, buzzer dan netizen pemilih paslon 02 di medsos ramai melabeli rival mereka, Anies Baswedan sebagai Sengkuni Sang Pengkhianat. Tokoh Sengkuni dalam pewayangan adalah sosok paman yang gemar bersiasat, memprovokasi, mengadu domba, menghalalkan segala cara demi keponakannya Duryudana menjadi raja dengan cara apapun
Pada masa Orde Baru berakhir, labelling Brutus pernah disematkan pada BJ Habibie. Ia bersama 14 menteri dianggap mengkhianati Soeharto dengan pindah sekoci sebelum kapal karam. Begitu pula dengan Harmoko. Apakah benar Pak Habibie mengkhianati guru politiknya ataukah situasi dan nurani yang mengharuskan ia memilih jalan berbeda dari Soeharto. Toh, menjadi presiden pun ia tetap dinisbatkan sebagai anak emas Soeharto, kepanjangan tangan Orde Baru. Meski, pemerintahan transisi itu betul-betul menjamin dan mendorong demokratisasi
Pada 2004, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai pengkhianat oleh Presiden Megawati. Ia pernah tegaskan tak akan maju pada pilpres dalam sebuah sidang kabinet. Kenyataannya SBY menjadi rival Mega dan menang. Apakah itu sebuah pengkhianatan ataukah kejelian SBY memilih momentum? Apalagi setiap orang punya hak mencalonkan diri menjadi presiden.
Pada Pilpres 2014, PDIP dinilai Prabowo dkk mengkhianati perjanjian Batu Tulis dengan mengusung Jokowi sebagai capres. Dalam kontrak politik, PDIP akan mendukung Prabowo di pilpres 2014 jika 2009 bersedia menjadi cawapres dari Megawati.
Jokowi juga dinilai sebagian orang dan kelompok Prabowo berkhianat atas janji politik untuk menjabat Gubernur DKI selama lima tahun, nyatanya ia nyapres. Prabowo turut mendanai kampanye Jokowi di Pilgub DKI. Saat diwawancarai media, Jokowi selalu katakan, "Nda mikir". Ia mau fokus benahi Jakarta dan tak akan nyapres. Kenyataannya tak begitu. Apakah itu berarti Jokowi pengkhianat ataukah rasional dan jeli dalam memilih momentum?
Berikutnya, Prabowo yang memilih posisi Menteri Pertahanan, tinggalkan konstituen pascapilpres 2019. Sebelumnya, di pertengahan Mei itu, ia sampaikan pada pendukungnya, "Saya akan timbul tenggelam bersama rakyat". Nyatanya ia memilih bergabung dengan pemenang pilpres. Pendukung Prabowo merasa dikhianati. Apakah Prabowo benar pengkhianat ataukah ia sadari momentumnya untuk berkontribusi di pemerintahan?
Sejarah berulang dengan aktor politik berbeda. Saat menjabat sebagai DKI-1, Anies diminta menjadi cawapres Prabowo. Bahkan ada tiga partai lain yang meminangnya jadi capres. Ia memang tak menerima tawaran cawapres, apalagi jadi poros ketiga karena tahu Prabowo akan nyapres di 2019. Anies pilih Jakarta sebagai momentumnya. Ia selesaikan tugas selama lima tahun
Lalu, apakah dengan Anies menjadi capres 2024 berkompetisi dengan Prabowo berarti ia pun pengkhianat. Sebenarnya sama dengan pilihan politik pendahulu, baik SBY, Jokowi, Prabowo, dan tokoh lainnya. Apalagi kontrak politik Anies dan Prabowo itu dalam konteks pilpres 2019. Politik itu rasional, kalkulatif, pragmatis, dan memiliki momentumnya
Anies memilih 2024 sebagai momentum bagi dirinya. Apakah ia akan memenangkan pilpres atau tidak, itu soal lain. Hasil survei dari banyak pollster, elektabilitas Prabowo-Gibran itu teratas. Jadi paslon 02 tak perlu khawatir, apalagi menjadi pihak yang merasa dirugikan dengan Anies menjadi kandidat lalu sematkan label pengkhianat pada Anies.
Persekutuan Jokowi-Prabowo di Pilgub DKI 2012, berubah menjadi rivalitas keduanya di Pilpres 2014. Jokowi dan Anies sebagai jubir timses bersaing dengan kubu Prabowo dengan Mahfud MD sebagai jubir. Lalu di Pilkada DKI, Anies-Prabowo melawan Ahok-Jokowi. Pada 2019, Prabowo-Anies berkompetisi dengan Jokowi-Mahfud MD. Kini peta berubah lagi, Gibran (baca: Jokowi)-Prabowo melawan Anies, Mahfud MD, juga Ganjar yang menyokong Jokowi di dua pilpres sebelumnya.
Jadi sudah saatnya politisi hentikan narasi pengkhianatan. Dalam politik tak ada kawan yang abadi. Politisi memiliki keleluasaan untuk mengambil pilihan-pilihan yang rasional, kalkulatif, dan terukur untuk memenangkan pilpres. Dalam dua dekade, Jokowi dan SBY terbukti jeli dalam memilih momentum politik. Berikutnya, kita belum tahu kepada siapa bandul akan berayun. Kampanye masih berjalan. Ketiga capres memiliki waktu untuk meraih dukungan publik dan menjadikan pemilu ini sebagai momentumnya meraih kekuasaan.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik-Dosen Fikom Unisba
Editor: Tokohkita